Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2013

Jogja dan Kita

Hujan, Perpisahan, Kenangan Sepuluh malam Hujan turun bersama kegalauan Menciptakan semburat kesedihan  Kesedihan yang sebenarnya mendalam Bus itu terus melaju Membelah kota Jogja bersama putaran rodanya Sementara itu, sejuta hal berkecamuk di pikiranku Tentang air mata, tentang canda dan tentang tawa bersama mereka Langit malam itu sepi Tak ada satu bintang pun yang menampakan dirinya Mungkin tertutup mendungnya langit Entahlah, aku hanya berharap hari esok akan cerah Mentari seakan menari Menyambut pagi dan indahnya hari itu Hal itu semakin dekat Membuat setiap kata yang terucap semakin tercekat Deburan ombak parangtritis Seakan membawa semua kesedihan itu larut bersamanya Terseret bersama ombak Dan hilang di tengah laut Alun-alun, Embun, Melamun Embun malam Mungkin sisa hujan malam itu Membuat beberapa genangan di titik tertentu Basah dan dingin Becak lampu dan kenangan Sate ayam dan angkringan Pulang dan delman Ken

Untitled (4/4 Ending)

Aku melirik jam tanganku, sudah satu setengah jam aku ada di rumah Allura tanpa pembicaraan. “Lur, gue pulang ya?” ucapku membuka pembicaraan. Allura menghapus sisa air matanya dan mengangguk kecil. “Iya Ver, makasih ya.” Aku mengangguk dan beranjak keluar dari rumah Allura. “Lo ati-ati di rumah sendirian.” Sahutku sambil memakai helm. “Sip. Ati-ati di jalan ya Ver!” Aku mengangguk dan menyalakan mesin motorku. Ketika aku berlalu dari rumah Allura, aku bisa melihat gadis itu melambaikan tangannya padaku. Terus kenapa deh? *** Minggu pagi yang indah. Matahari mulai terlihat di ufuk timur ketika aku tengah bersiap untuk latihan di lapangan basket sekolah. Ibu masih sibuk menyirami tanaman-tanamannya sedangkan ayah sibuk membaca koran dan menyeruput kopinya. “Very!” seru ibu. Aku mengangkat satu alisku. “Ada tamu nih!” sambungnya. Samar-samar, aku mendengar ibu berbicara dengan seseorang dan suara gerbang rumah dibuka. Aku berlari kecil keluar rumah. “Oh… A

Untitled (3/4)

Sejak Allura jadian sama Ferdi, hampir seluruh anak laki-laki sekolah ini bertanya padaku ‘kenapa lo bolehin Veerr??’ atau ‘mendingan Allura sama gue aja…!’ dan ungkapan-ungkapan sejenisnya. Sedangkan anak perempuan? Mereka mengucapkan kalimat menjijikan seperti ‘Ver, Allura kan udah jadian sama Ferdi, lo sama gue aja… ya?’ Hih, siapa yang enggak jijik denger kalimat itu dari cewek??! Belom kenal juga langsung ilfeel yang ada. Aku jadi makin penasaran sama Ferdi, sebenernya dia itu orang yang kayak apa sih? “Ver!” Aku menoleh. Allura berlari kecil menghampiriku di koridor sekolah, tapi kali ini ia tidak bersama Ferdi. Aku menghentikan langkahku. Yah, walaupun aku kecewa sama cewek satu ini gara-gara dia nerima Ferdi… tapi aku bukan tipe cowok yang dengan tega meninggalkan seorang perempuan mengejarku. “Hei Lur.” balasku ketika Allura sudah berhasil menyejajarkan posisinya denganku. Melihat kejadian itu, anak perempuan yang berada di koridor mulai was-wes-wos dan memandang All

Untitled (2/4)

Sudah seminggu sejak ‘jadi’nya Allura dan Ferdi. Seminggu juga Allura tidak main ke rumahku. Rasa kehilangan itu menyeruak masuk ke dalam jiwaku. Aku kehilangan sahabatku, aku kehilangan temanku aku kehilangan my-first-love dan aku kehilangan Allura. “Paagiii Aaavveerryyy….” Sekarang, sapaan ini yang selalu kudapat setiap aku tiba di sekolah. Sapaan dengan suara sok manis yang menjijikan. Dan biasanya, aku hanya menanggapinya dengan ‘senyum’ memaksa. “Pagi bro!” sapa Ferdi sambil menepuk pundakku. Tolonglah, aku benci momen ini. Momen disaat Allura tidak lagi berjalan disebelahku. “Hei Fer. Gue duluan ya!” ucapku sambil berlalu meninggalkan Ferdi dan… Allura. *** “Bro! Lemes banget, kenapa?” seru Inggar, temen sekelas sekaligus temen klub basket. “Lemes dari mana? Semangat banget gini gue!” Inggar berdecak. “Gue tau lo, gak usah boong deh! Eh, denger-denger… Lura jadian sama Ferdi?” Ya, Inggar memang biasa memanggil Allura dengan sebutan Lura. Aku mengacak r