Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Cerpen

Sepi, Sunyi, Tidak Sendiri

"Enggak capek ngoceh terus? Kayaknya hidup kamu seneng terus, ya." "Apa aja yang keluar dari mulutmu selalu lucu, kenapa enggak jadi komedian aja?" Begitu, kata mereka. Mereka mana tahu kalau saat malam habis, air matanya pun habis. Mereka tidak perlu tahu bagaimana tersiksanya anak itu setiap malam tiba. Baginya, malam bisa jadi kejam. Anak itu tidak pernah menolak mendengarkan permasalahan orang lain. Lupa kalau dirinya sendiri pun sudah cukup bermasalah. Padahal, dalam hatinya pun, ia ingin bercerita sampai berderai air mata. Tapi tidak bisa, tidak ada lagi yang peduli dengan dunianya. Sebenarnya, dia juga tidak peduli dengan kehidupannya sendiri. Sudah sejak lama, kehidupannya berubah sepi. Dia sudah terbiasa dengan yang namanya sunyi. Sepi dan sunyi. Dua hal itu sudah akrab menggerogoti dirinya. Perlahan-lahan. Sedikit demi sedikit. Sampai tidak ada lagi yang dapat digerogoti karena dia sudah mati. 

Aline

"Tidak berniat mencari pacar?" "Tidak." "Mengapa tidak?" "Karena namaku Aline." "Lalu?" "Yang berarti seorang diri." Terkadang, ia tidak mengerti jalan pikiran orang di hadapannya ini. Aline, yang karena arti namanya, tidak ingin memiliki kekasih hati. Saat ia sudah berganti-ganti pasangan beberapa kali. Bahkan menembak dan memutuskan beberapa orang dalam satu bulan, gadis di hadapannya masih betah menjalani kehidupannya sendiri, tanpa pernah mendekati dan didekati laki-laki. "Kamu suka laki-laki?" Aline mengerutkan dahi, kemudian tertawa. "Mungkin. Ya, tidak tahu." "Mau kukenalkan dengan seseorang?" Aline tertawa terbahak-bahak, kemudian menjawab. "Minimal, dia harus setampan Zayn Malik, atau Harry Styles, dan mungkin, secantik Isyana Sarasvati. Jika tidak, maka aku tidak mau." "Kau benar-benar membuatku ngeri sekarang." Aline hanya...

Broers en Zussen voor Altijd

"Enggak akan ada yang berubah walaupun kakak-kakakmu udah nikah semua." Begitu kata seorang temanku. Benar katanya. Tidak ada yang berubah, hanya rumah yang lebih sepi dan bertambahnya kamar-kamar kosong. Ingin rasanya aku jadikan rumah ini indekos. Sayangnya, letak rumahku tidak strategis. Jika dijadikan indekos pun, yang menyewa mungkin mahasiswa-mahasiswa yang mengincar harga murah — karena jauh dari kampus — dan tukang pisang goreng di depan pasar langganan abangku. Ah, aku rindu kerenyahan pisang gorengnya. Pernah dengar soal tidak ada yang abadi di dunia ini? Itu benar. Bahkan kakak dan adik yang mewarnai hidupmu pun tidak abadi. Saat waktunya nanti, mereka akan pergi, membangun keluarganya sendiri. Itu yang terjadi, dan semakin parah jika beda usia di antara kakak kalian hanya satu atau dua tahun. Mereka bisa saja pergi di tahun yang sama. Rasakan sendiri kalau kalian tidak percaya. Ah, bicara apa aku ini. Sudahlah, kalian dengarkan ceritaku saja kalau tidak...

Cerita Hari Keempat Ramadan

Saat seperti ini biasanya aku merindukanmu. Jangan lupa sisipkan sangat, karena jika rindu berobjek kamu, maka sangat akan selalu mendahului rindu. Saat seperti ini biasanya aku mengharapkan kehadiranmu. Hanya mengharapkan, tanpa menuntut untuk bertemu. Malam hari seperti ini biasanya aku merindukanmu. Malam hari setelah perdebatan dengan orang lain, malam hari setelah semesta seakan memusuhiku seorang diri. Dulu, setelah pertengkaran kecil dengan kakakku, aku selalu mencarimu. Aku mencarimu, karena kamu tidak pernah membelaku, kamu hanya mendengarkan, kamu adalah pendengar yang baik. Kemudian aku sadar, kamu bukan pendengar yang baik, kamu tidak menanggapi karena kamu tidak peduli. Dulu, setelah pertengkaran hebat dengan teman-temanku yang lain, aku selalu mencarimu. Kemudian, setelah selesai, kamu akan bertanya, "udah keselnya?" dan itu berlaku untuk ratusan cerita yang aku ceritakan padamu. Kukira itu berarti kamu rela aku jadikan pelampiasan amarahku, namun lagi-...

Coffee Shop

Aku memejamkan mataku tiap kali petir menyambar. Hujan hari ini deras dan menyebabkan aku harus berteduh di coffee shop ini dengan seorang temanku, Ahren. Petir itu tidak henti-hentinya menyambar, butir-butir hujan terus membasahi bumi, membuat aspal yang biasanya keabuan menjadi hitam, membuat tanah yang biasanya retak-retak menjadi segar dan menimbulkan harum petrichor. Bagian kesukaanku dari hujan adalah petrichor, wangi itu selalu berhasil membuat indra penciumanku mencintainya. “Kalau kamu cinta hujan, cintai juga petirnya.” sahutnya. Aku menghela napas, ini sudah kesekian kalinya ia mengucapkan kalimat itu. Baik, aku cinta hujan, aku suka turunnya hujan, aku suka petrichor… tapi… hei, ada kah orang yang menyukai petir? “Kalimat itu sama saja berarti ‘kalau kau suka makan cokelat, makan juga bungkusnya’ ini sudah hampir ratusan kali kau mengucapkan kalimat itu padaku.” tanggapku sambil mengaduk caramel macchiato-ku, menghancurkan coffee art kelinci yang sejak tadi terpam...