Langsung ke konten utama

Coffee Shop

Aku memejamkan mataku tiap kali petir menyambar. Hujan hari ini deras dan menyebabkan aku harus berteduh di coffee shop ini dengan seorang temanku, Ahren. Petir itu tidak henti-hentinya menyambar, butir-butir hujan terus membasahi bumi, membuat aspal yang biasanya keabuan menjadi hitam, membuat tanah yang biasanya retak-retak menjadi segar dan menimbulkan harum petrichor. Bagian kesukaanku dari hujan adalah petrichor, wangi itu selalu berhasil membuat indra penciumanku mencintainya.

“Kalau kamu cinta hujan, cintai juga petirnya.” sahutnya. Aku menghela napas, ini sudah kesekian kalinya ia mengucapkan kalimat itu. Baik, aku cinta hujan, aku suka turunnya hujan, aku suka petrichor… tapi… hei, ada kah orang yang menyukai petir?

“Kalimat itu sama saja berarti ‘kalau kau suka makan cokelat, makan juga bungkusnya’ ini sudah hampir ratusan kali kau mengucapkan kalimat itu padaku.” tanggapku sambil mengaduk caramel macchiato-ku, menghancurkan coffee art kelinci yang sejak tadi terpampang manis di dalam cangkirnya.

“Gimana enggak ratusan? Aku kenal kamu dari kecil, dari kita sama-sama masih suka ngompol, dari kamu masih suka menguncir rambutmu menjadi buntut kuda. Aku tahu kamu yang enggak suka petir tapi cinta ‘banget’ sama hujan, kamu yang suka kelinci tapi enggak pernah berani buat melihara dan kamu yang selalu memejamkan mata setiap petir menyambar.” jelas Ahren. Yah, jujur saja, cowok ini memang satu-satunya cowok yang sering menemaniku pergi kemana pun, cowok ini satu-satunya cowok yang berhasil membuatku diizinkan keluar malam hanya untuk makan dan cowok ini yang memang paling tahu tentang seorang ‘Alunnada Cinta Violin a.k.a Violin a.ka. aku.’

“Karena aku mengetahui aib kehidupanmu, jadi, mana uang tutup mulutnya?” sambungnya sambil tersenyum kecil, senyum yang paling ku sukai.

“Yeh, maap-maap aja sih ya, kalo kamu mau bongkar semua aibku juga enggak apa-apa kok. Sepertinya kamu lupa kalau aku juga mngetahui aib kehidupanmu, Ren. Kalau aku membocorkan sedikit saja aibmu… cewek-cewek sesekolahan yang nge-fans sama orang dablek kayak kamu itu, pasti langsung ‘ILFEEL.’” balasku dengan nada meniru sebuah iklan makanan di kata ‘ilfeel.’
Aku  memperhatikan wajah Ahren yang berubah panik ketika aku selesai mengucapkan rentetan kalimat itu dengan satu tarikan napas. Bagaimana tidak? Anak ekskul musik yang tiap pensi kerjaannya ‘ngegenjreng’ gitar di atas panggung dengan wajah yang lumayan keren dan membuatnya selalu dipanggil cewek-cewek satu sekolah dari adik kelas sampai kakak kelas itu pasti memikirkan ‘bagaimana kalau cewek-cewek itu tahu aibnya.’

“E… eh… jangan dong…. Kalo lo enggak bocorin, besok gue nemenin lo seharian deh di sekolah.” bujuk Ahren. Aku memicingkan mata dan mencibir.

“Idih, gue juga ogah ditemenin lo seharian, dateng sama pulang bareng lo aja gue udah dapet berpasang-pasang mata sinis, apalagi seharian?”

***
Aku tersenyum kecil dan mengusap bingkai foto yang membingkai rapi fotoku dan Ahren. Kejadian kelas dua SMA yang masih kuingat dengan jelas, sembilan tahun yang lalu. Sembilan tahun aku tidak bertemu dengannya, seperti apa dia sekarang?

Ahren memutuskan untuk pindah sekolah tepat ketika kenaikan kelas, ia memutuskan untuk memisahkan diri dari orangtuanya dan memilih belajar musik di luar negeri yang bahkan aku tidak tahu di dunia bagian mana. Ia sama sekali tidak pamit padaku, ia hanya menitipkan kotak berisi miniatur biola dan secarik kertas bertuliskan pesan.

“Violin was born to play ‘Violin’ J See you in another chance, Vi! Ich liebe dich J

Kertas itu masih tersimpan rapi di sebuah kotak dan aku masih suka membacanya – bahkan membawanya kemana pun – bila rasa rindu itu menyergapku. Sampai sekarang, aku tidak mengerti tiga kata terakhir. Sepertinya, Ahren paham bahwa aku sama sekali tidak tertarik dengan bahasa asing kecuali bahasa Inggris yang memang mostly dibutuhkan dan sekarang aku berada di Jerman dan penyesalanku datang… penyesalan ‘mengapa aku tidak belajar bahasa Jerman?’

Aku melirik jam dinding di kamarku dan menyadari bahwa sudah waktunya aku sekolah. Aku mengambil biolaku dan berjalan keluar dari flat. Yah, sepertinya kalau nama adalah doa, doa orangtuaku terkabul, entah sejak kapan aku tertarik dengan alat musik melodis ini dan memutuskan untuk berangkat ke Jerman seminggu yang lalu setelah menyelesaikan kuliahku di Indonesia.

Secarik kertas yang masih kusimpan sampai sekarang, secarik kertas yang bahkan masih rapi terlipat dua, secarik kertas yang masih tidak ku mengerti, secarik kertas yang ‘mewakilkan’ pamitnya Ahren dari Indonesia dan secarik kertas yang sedang berada dalam genggaman tanganku. Terdengar berlebihan, tapi… sejak Ahren tak lagi bisa kulihat setiap pagi waktu berangkat sekolah, aku merasa kesepian, seperti ada yang hilang dan tidak ada yang bisa mengembalikan sesuatu yang hilang itu selain orang yang menghilangkannya.

Dingin. Angin hari ini berhasil menembus sweater yang kukenakan. Warna oranye, kuning dan coklat mendominasi pemandangan beberapa hari ini. Ya, musim gugur. Aku memutuskan untuk berhenti di sebuah coffee machine dan memutuskan membeli segelas kopi.

Must be caramel macchiato, isn’t it?” sahut sebuah suara. Aku sontak menoleh dan menemukan sumber suara, membuatku terdiam dan terpaku di tempat. “Lupa ya? Kenalan lagi, yuk!” sambungnya. Aku masih terdiam dan kembali merasakan kupu-kupu yang berterbangan di perutku setelah sembilan tahun kupu-kupu itu ‘vacuum’ terbang di perutku.

“Muhammad Ahren Rayyandra, kamu?” ucapnya sambil mengulurkan tangannya. Aku tersenyum kecil dan menyambut uluran tangannya.

“Alunnada Cinta Violin.” balasku.

***
Kembali di sebuah coffee shop, bedanya ini bukan di Indonesia dan bukan coffee shop kesukaan kami dan keadaannya sudah berbeda, kami bukan lagi anak putih abu-abu, kalau dulu hanya Ahren yang membawa tas gitar serta isinya, sekarang aku juga membawa tas biola serta isinya. Satu-satunya yang tidak berubah adalah pesanan kami, aku dengan caramel macchiato dan Ahren dengan hot chocomint.

“Jadi, sembilan tahun ini udah ngapain aja?” tanya Ahren. Aku menghela napas dan mengaduk kopiku.

“Itu dibahas nanti saja, aku mau bahas ini.” tanggapku sambil menyerahkan secarik kertas yang tadi kumasukan ke dalam saku sweater. Ahren tertawa kecil dan mengambil kertas itu.

“Masih disimpen? Apanya yang mau dibahas?”

“Tiga kata terakhir.” jawabku datar.

“Tetep. Tetep Violin yang enggak pernah belajar bahasa asing selain bahasa Inggris. Aku enggak mau kasih tahu dan… kamu bisa tanya sama orang-orang di cafĂ© ini, oke?” Aku mendengus dan merebut kertas itu dari tangan Ahren.

“Ini pesanannya, silahkan dinikmati.” sahut seorang waiter yang baru saja mengantar pesanan Ahren.

Excuse me, can you translate it into English?” tanyaku pada waiter yang kembali menarik kakinya yang hendak melangkah setelah mendengar pertanyaanku.

Satu menit…

Dua menit…

Waiter itu tersenyum dan melirik Ahren yang mengangguk kecil.

Te amo.” ucap waiter itu sambil berlalu pergi. Aku mengangkat alisku.

“He? Te amo? Apaan tuh?” gumamku.

“Ya udah deh, karena kamu enggak ngerti bahasa asing dan sepertinya bahasa Inggris kamu juga enggak perfect perfect amat, aku translate ke bahasa Indonesia aja. Agree?” Aku hanya mengangguk dengan wajah datar.

“Vi, aku cinta kamu. Awalnya, aku kira ngungkapin perasaan pake bahasa asing itu romantis, tapi… kalo ceweknya kayak kamu gini, aku salah.” Aku terbelalak dan memandang Ahren dengan sinis tapi memutuskan untuk diam dan tidak protes dibilang seperti itu karena memang kenyataannya.

“Tapi serius, deh. Ti amo, ich liebe dich, saranghae, te amo, je t’aime bahkan I love you pun kalah manisnya dari ‘aku cinta kamu.’ Iya gak?” sambungnya. Aku merasakan senyumku mengembang dan sepertinya mataku berbinar saat ini.

“Diem aja nih? Ya udah, enggak usah dijawab juga enggak apa-apa… yang penting aku udah bilang sama kamu maksudnya apa. Oh iya, aku seneng liat kamu sekarang main…-” Aku tersenyum simpul.

Ich liebe dich auch.” sahutku memotong pembicaraan Ahren. Raut wajah Ahren berubah heran. Iya, aku hanya bisa kalimat itu, mana aku tahu kalau ternyata ‘Ich liebe dich’ artinya aku cinta kamu. Hem.

Butiran halus hujan turun membasahi kota Jerman dan membuatku membuang pikiranku ke zaman sembilan tahun lalu, di sebuah coffee shop kesukaan kami, dengan pembicaraan tentang hujan, petir dan petrichor.

“Jadi, kamu masih membenci petir?” tanya Ahren dengan tatapan teduh. Aku tersenyum singkat kemudian menggeleng.

“Kalau kamu cinta hujan, cintai juga petirnya.” Ahren tersenyum kecil dan mengacak rambutku, mendekapku dalam kehangatan tubuhnya dan…,

“Parfum baru?” tanyaku.

“Iya, petrichor. Wangi kesukaanmu.” ucapnya sambil mempererat dekapannya, membuat harum petrichor itu terhirup sempurna oleh indra penciumanku.

Kalau kamu cinta hujan dan petrichor, cintai juga petirnya.’

Komentar

Postingan populer dari blog ini

I Need You

Alhamdulillaaahhh! :D  Gatau lagi mau ngomong apa, selama di Jawa kemaren... gue dapet surprise yang bener-bener surprise. Oke, ngeliat hasil kerjaan kita itu emang perasaan paling nyenengin, paling, paling, paling nyenengin :')  Jadi, ceritanya... pas gue di Jawa kemaren, ada yang nelpon gue... mungkin pak pos atau siapa, nanya rumah gue yang mana, terus nanya lagi kok rumahnya sepi dan akhirnya dia bilang kalo dia nganter paket dari mizan dan dia nanya harus dia titip di mana paket itu. Jadilah paket itu anteng-anteng di rumah tante gue yang emang deket dari rumah.  Gue udah sama sekali enggak mau ngapa-ngapain lagi, mau pulang, mau ke Jakarta, mau buka paketnya, mau baca buku sendiri :))  Dan akhirnyaaa... gue sampe rumah! Langsung ke rumah tante buat ngambil paket yang sudah terbuka dan bukunya tinggal tiga karena emang gue bagi sodara gue satu-satu. Padahal, gue nungguin momen pas ngambil paketnya dari pak pos, tapi ternyata enggak bisa. Ya sudahl...

Little Star, You Shine! - Kau Berkilau. Tinggi, Tapi Sendirian...

Tadinya, udah berniat post "Dec." itu sebagai post terakhir di tahun ini, tapi, ternyata... seorang Fiona baru mendapat kado akhir tahun yang sangat indah tepat di tanggal 26 Desember kemarin.  Alhamdulillah. Speechless.  Buku kedua yang judulnya 'Little Star, You Shine!' terbit lebih cepat dari yang dijadwalkan. Waktu itu sempet nanya sama Kak Andika, katanya paling cepet terbit itu awal tahun 2015, makanya sama sekali enggak kepikiran bakal dapet paket bukti terbit di bulan ini.  Tapi... tapi...  Buku kedua ini cantik luar biasaaa :D  Sukaaaaa sekali sama covernyaaaaa :3 Langsung aja yaaa...  Ini iniiii.... YAP! Itu diaaaaaaa :')  Sinopsis ya biar makin banyak yang niat beli dan beli bukunyaaaa~~  Nih  Menjadi diriku enggak gampang. Jangan sekali-kali kamu hanya melihat gemerlap dunia entertainment yang kugeluti saja. Jangan pula kamu berpikir bahwa semua tampak lebih mudah jika menjadi seleb...

That's Just How The World Works

Someday, i think my life is a whole mess. The other day, i think my life is a blessed. Someday, i think myself is not more than just a garbage. The other day, i think myself is amazing af. Someday, i think life is so cruel. No one wants to be my friend. Nothing works well as i expected it to be. Nothing run well in my life. I complained too much about it. I spent time stressing over it. I'm busy doing every single things except my responsibilities. I'm talking too much about how cruel this life to me. But, then, when my mind is clear enough to think, i realized that's just how the world works. It's not life that did dirty to me. Everything that happens in my life is just how the world works. I should not complain too much about how my life goes on. I should learn how to overcome life to survive. Not everything went well so that i can learn from the failure. Not everyone can help me anytime so that i know i have to do most things by myself. I know that i have to do what ...