Saat seperti ini biasanya aku merindukanmu. Jangan lupa sisipkan sangat, karena jika rindu berobjek kamu, maka sangat akan selalu mendahului rindu. Saat seperti ini biasanya aku mengharapkan kehadiranmu. Hanya mengharapkan, tanpa menuntut untuk bertemu.
Malam hari seperti ini biasanya aku merindukanmu. Malam hari setelah perdebatan dengan orang lain, malam hari setelah semesta seakan memusuhiku seorang diri. Dulu, setelah pertengkaran kecil dengan kakakku, aku selalu mencarimu. Aku mencarimu, karena kamu tidak pernah membelaku, kamu hanya mendengarkan, kamu adalah pendengar yang baik. Kemudian aku sadar, kamu bukan pendengar yang baik, kamu tidak menanggapi karena kamu tidak peduli.
Dulu, setelah pertengkaran hebat dengan teman-temanku yang lain, aku selalu mencarimu. Kemudian, setelah selesai, kamu akan bertanya, "udah keselnya?" dan itu berlaku untuk ratusan cerita yang aku ceritakan padamu. Kukira itu berarti kamu rela aku jadikan pelampiasan amarahku, namun lagi-lagi itu adalah bentuk ketidakpedulianmu.
Dulu, setelah hari-hari yang berat di sekolah, aku selalu mencarimu. Seperti biasa, kamu tidak banyak bicara. Hanya mendengarkan dan memberiku kudapan. Sogokan, biar tidak kesal lagi, katamu. Aku yang suka makan ini tentu bahagia, dan menganggap hal itu bentuk perhatian, namun ternyata itu bentuk usahamu membuatku diam.
Belakangan ini, aku sadar. Aku tidak lagi peduli kamu tidak menanggapi ceritaku karena tidak peduli. Aku tidak lagi peduli kamu mengacuhkanku karena muak dengan ceritaku yang tidak berganti. Aku hanya ingin kamu kembali. Mendengarkan ceritaku lagi, sambil sesekali meringis menahan sakit yang menggerogoti.
Gadis itu menyeka air matanya, mengusap nisan di depannya. Di bawahnya terbaring jasad seorang sahabat, yang pergi karena tak sanggup lagi menahan perih, yang pergi karena bahagianya bukan di sini.
Komentar
Posting Komentar