Gadis itu tersenyum.
Sudah dua puluh menit gadis itu tersenyum sendiri menatap layar ponselnya.
Bukan. Dia bukan membaca pesan dari kekasihnya--karena dia tidak punya--dia membaca riwayat obrolannya dengan seorang teman.
Dia pernah memiliki teman yang begitu baik dan selalu ada. Akan tetapi, waktu menarik temannya menjauh darinya. Jadi, yang bisa dilakukannya saat ini adalah memutar kembali memori yang tersisa tentang mereka, dia dan temannya.
Memori saat pertama kali bertemu, yang tidak pernah benar-benar diingat. Memori saat bermain ayunan di taman menjadi kegiatan paling menyenangkan. Memori saat tiba-tiba kedua bocah itu berpisah, karena waktu.
Mereka tidak pernah benar-benar terpisah karena ingin. Waktu yang selalu memisahkan mereka. Waktu yang seolah berkata, "bukan sekarang saatnya". Hingga lagi-lagi waktu yang mempertemukan dua bocah itu kembali.
Lalu, semuanya berjalan normal dan biasa. Gadis itu selalu menganggap pertemanan mereka normal, walaupun teman-temannya yang lain menganggap ada udang di balik batu. Gadis itu nyaris tidak pernah menganggap bentuk perhatian-perhatian kecil temannya sebagai hal yang lebih. Entahlah, mungkin gadis itu mati rasa. Mungkin karena gadis itu sudah biasa mendapat perhatian dari keluarganya sehingga ia tidak mudah menganggap hal-hal wajar sebagai tanda suka, seperti yang beberapa temannya rasakan.
Saat semuanya berjalan normal, lagi-lagi waktu kembali menyapa mereka dengan sampai jumpa. Lagi-lagi waktu memisahkan dua bocah yang sedang beranjak dewasa itu. Dua bocah itu tidak pernah benar-benar terpisah jarak yang jauh, tapi sayangnya, waktu bisa lebih kejam dalam membunuh.
"Stasiun Tebet. Hati-hati melangkah, perhatikan celah peron. Tebet Station. Please mind the platform gap."
Gadis itu tersadar dan melompat turun dari kereta. Melangkah dan melanjutkan kehidupannya. Seperti yang bocah itu lakukan, melanjutkan kehidupan. Mereka sama-sama melanjutkan kehidupan...
...
...
...
...
...
...
ke arah berlainan.
2/6/2018
Komentar
Posting Komentar