Apa kabar? Apa kamu baik-baik saja?
Apa kamu masih sosok yang menyukai hujan? Apa kamu
masih suka bertengger manis di depan meja belajar? Oh iya, tak lupa dengan
laptop dan pemandangan rintik hujan serta segelas cokelat panas di sebelah
kananmu serta harum petrichor? Apa
kamu masih suka menyambungkan kata-kata yang kuucapkan menjadi puisi? Apa kamu
masih suka menceritakan semuanya di folder pribadimu di laptop? Long time no see, satu hal yang kutahu
tentangmu hanyalah : kamu sudah remaja. Kamu mulai suka berceloteh galau di
twitter atau membicarakan seorang laki-laki bersama teman-temanmu di twitter. Oh, dan satu lagi, kamu semakin cantik saja.
***
Rindu itu menyergapku.
Membawaku membuka album-album lama kita. Hanya tawa
kecil atau semburat senyum yang dihasilkan oleh bibirku. Karena album jaman sd.
Aku masih tidak mengerti ide gilamu untuk ‘kabur’ begitu saja tanpa pamit
padaku atau pada siapapun. Sejak kamu pergi, tidak ada lagi orang yang dengan
senang hati membiarkanku untuk merangkai kata-kata mereka menjadi puisi,
menurut mereka… aku masih terlalu kecil waktu itu dan sekarang… menurut mereka
aku berlebihan mencintai puisi.
Di mana kamu sekarang? Bagian dunia sebelah mana?
Aku tidak akan menanyakan kabarmu karena aku tahu
kamu bisa menjaga dirimu dengan baik, seperti kamu menjaga Nada kecil a.k.a aku
dulu. Lalu, apa kamu masih suka bermain futsal? Atau memetik senar-senar
gitarmu? Ah, rasanya aku ingin bertemu denganmu segera dan menanyakan ratusan
pertanyaan yang kutahan selama ini. Mulai dari sekolah di mana sampai alasan
mengapa kamu tidak pamit pada Nada yang waktu itu baru duduk di bangku kelas 2
SD. Oh ya, aku mau minta maaf karena memiliki hobi stalking timeline twitter-mu. Mengetahui kamu beranjak remaja,
menyukai futsal dan bermain gitar cukup membuatku tersenyum.
***
“Lo kenal kan sama dia? Kenapa lo enggak follow aja? Udah kayak stranger tahu gak sih, lo?” sahut Andra sambil
memukul pelan punggungku ketika aku tengah sibuk men-stalking twitter-nya.
“Gue kenal dia, tapi, who knows? Siapa tahu dia udah lupa sama gue? Mungkin, gue itu cuma
masa lalu bagi dia, Ndra.”
“Lo bilang gitu karena lo enggak pernah tahu langsung
dari dia kan? Who knows? Dia masih
inget lo, Ren. Lo gimana sih?”
“Gue rasa enggak. Gue pergi waktu kita sama-sama
kelas 2 sd. Lo bayangin aja, DUA SD!” seruku setelah akhirnya kembali menatap
layar laptop yang masih membuka akun twitter-nya.
“Lo gila. Lo orang pertama yang cerita sama gue kalo
lo ketemu sama first love lo waktu
kelas 1 SD. Sumpah itu enggak lucu. Dan yang gue heran, kenapa bisa sampe
sekarang? Lo bahkan enggak pernah ketemu dia lagi, lo enggak tahu kayak apa
sifat dia sekarang. Dia udah punya pacar atau belum? Atau apa dia udah maafin
lo karena lo ninggalin dia tanpa pamit waktu kelas 2 SD. Stres lo, Rendy!
Sumpah, lo stres.” sembur Andra. Aku hanya menghela napas panjang dan kembali
memfokuskan pandanganku pada layar laptop.
“Jangan ingetin gue tentang acara enggak pamit itu.”
tanggapku.
“Nad, apa
kabar?”
***
Bangunan ini cukup besar untuk setidaknya menampung
300 orang lebih. Aku menghela napas panjang, bahkan sangat panjang. Hari ini
aku ujian masuk SMA dan baru saja selesai berkutat dengan soal pelajaran
pertama yang super duper susah.
“Susah.” ucapku sebelum mama dan papa menanyakan
padaku bagaimana soalnya. Aku tidak berbohong, soal itu memang sangat susah dan
sekarang aku sedang berusaha melupakan semua soal-soal itu dari pikiranku
ketika tiba-tiba aku melihat wajah yang sepertinya pernah kulihat.
Aku berusaha tidak memedulikannya dan mengambil handphone-ku, membuka twitter karena aku
sama sekali tidak minat melakukan apapun setelah melihat sosok – seperti –
dirinya.
“Sepertinya
kamu tahu di mana harus mencariku. x” Aku tersenyum kecil dan mematikan handphone.
“Ren… sadar
keberadaanku?”
***
Sementara itu, di bagian halaman lain, Rendy
tersenyum kecil membaca tweets baru
Nada. Walaupun sebenarnya ia tidak mengerti maksudnya dan untuk siapa tweets itu ditujukan, tapi, ada sesuatu
yang berdesir di dalam sana. Apa dia ada di dekat sini? Rendy sama sekali tidak
mengetahuinya.
“@Nadanasa
still remember me?”
Setidaknya itu hal yang paling nekat yang pernah
cowok itu lakukan sejak mereka kelas 2 SD. Waktu kelas 2 SD, jangankan mention…
Rendy bahkan pernah mencium pipi Nada kecil waktu itu.
Gadis itu tersenyum dan tertawa kecil melihat sosok
itu kembali, kembali masuk ke dalam kehidupannya dan merecoki kotak mention-nya hari ini. “Still remember me?” katanya. Ia bahkan
tidak pernah melupakannya barang sedetik pun, tidak pernah. Tanpa pikir
panjang, gadis itu sibuk bermain dengan layar sentuh di handphone-nya.
“@Rndyah
there’s no reason to forget you, Ren. How’s life?”
***
Satu sekolah dan satu kelas dengan Rendy itu sama
saja mengulang masa kecil. Rendy masih sama, masih Rendy yang bisa melindungi
diriku dan dirinya sendiri, masih Rendy yang dari kecil enggak pernah suka kalo
aku main hujan-hujanan, masih Rendy yang enggak pernah bicara kasar sama cewek.
“Jadi, lo masih suka nulis?” tanyanya pada jam
istirahat. Aku sontak menoleh. Rendy tahu aku suka puisi, tapi, aku tidak
pernah memberitahunya tentang menulis.
“Tau dari mana lo gue suka nulis? Stalker? Oh….” Ia menyenggol lenganku
dan berdecak.
“Enggak perlu jadi stalker untuk tau kesukaan lo. Lo yang sekarang mulai nerbitin
buku, lo yang sekarang kerjaannya nulis mulu dan lo yang ternyata maniac novel. Sukses banget anak ini.”
elaknya.
“Oh, lo secret
admirer gue?”
“Yeh, ngeselin. Dasar, cewek.” Aku mendengus.
Terus-kenapa-deh-kalo-gue-cewek? Ha?
***
Aku terdiam. Menyadari bahwa aku dan Nada sama-sama
bukan anak kelas 2 SD lagi, umurku sekarang bukan lagi umur yang bisa dikatakan
pantas mencium teman perempuannya dengan spontan, yang ada malah kena gampar
kali.
“Nad, aku kangen waktu kecil….” Nada menoleh dan
terdiam.
“Iya, kenapa waktu itu enggak pamit, sih? Kamu tau
enggak, waktu kamu pindah rumah, aku nangis gara-gara enggak ada temen main di
rumah.” tanggapnya. Aku terdiam, merasa bersalah karena sama sekali tidak pamit
pada Nada atau keluarganya.
“Oh, waktu kecil kamu naksir sama aku? Seneng dong
waktu aku cium?” Aku memperhatikan Nada, wajahnya berubah jijik mendengar
perkataanku barusan.
“Apa-apaan… GAK!” tolaknya mentah-mentah.
“Sejak aku, ada lagi yang cium pipi kanan kamu? Kalo
enggak, berarti bekasnya masih ada dong ya?” godaku. Nada memegang pipi
kanannya dan menggosok-gosoknya.
“Ada. Mama, puas? Ngeselin lo!” Aku tertawa
terbahak-bahak ketika tiba-tiba Nada menyikut perutku.
“Tapi, ngomong-ngomong… lama enggak ketemu, tetep
tinggian gue ya?” Nada berdecak dan tidak menjawab ucapanku. “Nad… aku…-”
“Apa?” tanya Nada. Aku menggeleng cepat.
“Enggak jadi, deh.” Ia hanya ber-oh pendek dan
mengalihkan pandangannya dariku.
***
Aku memacu motorku dengan kecepatan tinggi,
membiarkan angin malam menubruk tubuhku yang tertutup jaket, membiarkan rasa
raguku terbawa olehnya dan tidak memedulikan telapak kakiku mulai gemetar
kedinginan.
“Aku harus memberitahunya.” ucapku dalam hati sambil
menghentikan motorku tepat di depan rumahnya. Setelah motorku berhenti sempurna,
aku mengeluarkan handphone dan
mengirim pesan padanya.
***
“Can we meet up
now? Go outside!” Pesan gila lain yang dikirim seorang Rendy malam ini.
Biasanya, Rendy enggak akan mengirim pesan padaku setelah jam menunjukan lewat
dari jam delapan malam kecuali hanya untuk bertanya tentang tugas. Sekarang kok
malah ngajak ketemu, enggak beres nih orang. Aku meraih jaketku, malam ini
dingin, hujan baru saja berhenti membasahi bumi ini dan membuat mood-ku naik seratus persen.
Aku membuka pintu depan setelah menjawab
pertanyaan-pertanyaan mama dan papa tentang ‘mau ngapain?’ atau ‘mau kemana?’
dan pertanyaan lainnya. Benar saja, aku menemukan bayangan sosok Rendy di depan
pagar sedang duduk di atas motor besarnya. Aku menghela napas dan membuka pintu
gerbang, menyuruhnya masuk dan, yah… aku tahu Rendy adalah anak yang mengerti
etika, tanpa kusuruh masuk pun, ia pasti akan masuk setelah yang punya rumah
terlihat batang hidungnya.
“Jadi… mau apa lo kesini?” tanyaku setelah sesi
‘ramah-tamah’ dengan orangtuaku selesai.
“Tadinya, aku mau ajak kamu keluar… tapi, ini bukan
hal yang enak kalo diomongin di luar deh…em-”
“Kenapa jadi aku-kamu gini, deh, Ren? Ada apa sih?” tanyaku
memotong pembicaraan Rendy. Rendy menghela napas berkali-kali, entah karena
apa, tapi jelas sekali terlihat ia gugup. Bukan, gugupnya berbeda dengan apa
yang kalian pikirkan, ia terlihat gugup dan… takut? Entahlah.
“Aku mau pamit…,” Aku terdiam, menahan napas dan semua
indraku mendadak tidak bisa merasakan apa-apa, ucapan-ucapan Rendy terasa angin
lalu di telingaku.
“Enggak terlalu lama, cuma satu tahun…,” Kita baru
ketemu lagi enam bulan ya, Ren… sekarang kamu mau pergi lagi? Satu tahun? Aku tidak bisa berkata apa-apa, aku sibuk
menahan air mataku agar tidak membasahi wajahku.
“Aku mau ke Jerman,” sambungnya. Aku menghela napas
panjang, berusaha mengontrol emosiku, menstabilkannya dan mencoba menanggapi
kata-kata Rendy.
“Aku lolos seleksi student exchange, satu tahun doang…. Sebenernya, aku mau bilang
sejak beberapa hari yang lalu sama kamu, tapi… aku enggak bisa. Aku besok
berangkat pagi-pagi buta. Daripada aku enggak pamit lagi, mendingan aku pamit
sekarang.” ucapnya sambil tersenyum kecil. Aku memperhatikan Rendy dari ujung
rambut sampai ujung kaki, sepertinya, Rendy berangkat waktu masih gerimis,
pakaiannya sedikit lepek.
“Oh… gitu…. Em, selamat ya… Ren. Itu kan yang selalu
kamu penginin, tercapai deh mimpinya.” tanggapku terbata. Rendy tersenyum lebar
dan mengacak rambutku.
“Makasih…. Tapi, kamu ngucapin selamat doang nih?
Enggak ngasih pesen buat jaga diri, gitu?”
“Aku enggak perlu pesen kayak gitu ke kamu pun, aku
udah tau kok kalo kamu selalu bisa jaga diri kamu sendiri, aku cuma mau bilang…
good luck!” Rendy terdiam dan
menatapku dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Jadi sekarang, gue harus seneng apa sedih?”
tanyanya. Aku menghela napas.
“Seneng.”
“Kenapa?” tanyanya lagi.
“Gini ya, gimana pun, ini tuh babak baru dalam hidup
lo, ini impian lo, masa lo mau ngadepinnya sedih?” jelasku. Rendy hanya tertawa
kecil.
“Susah ngomong sama penulis.” sahutnya.
***
“Aku di Jerman setahun, enggak akan lama. Aku mau
minta sesuatu sama kamu, boleh?” Aku memandang Nada yang kini tengah mengangkat
alisnya.
“Tunggu aku.” lanjutku.
“Untuk apa?” tanyanya.
“Untuk mastiin sesuatu yang perlu dipastiin. Satu
tahun doang, kok… serius deh, enggak akan lebih. Enggak akan.” Nada menghela
napas dan memandangku kemudian mengangguk. Aku tersenyum dan menepuk pundaknya,
memutuskan untuk pamit setelah aku mengucapkan semuanya.
***
Hehehe. Enggak
berani bilang to be continue karna enggak tau kapan mau ngelanjutinnya, tapi
semoga yang ini get better better and better ya. Ini nulisnya rada pas mood
enggak terlalu baik jadinya mungkin rada enggak ‘srek’ harap dimaafkan J
Foya.
kalo bisa pake bahasanya yang biasa aja, karena sebagai penulis wajib adanya tidak menganggap semua pembaca itu pintar (Tips menulis)
BalasHapuskak bagus banget tuh buku i need younya kemarin malam aku baru selesai baca,gara gara buku i need you kakak aku jadi pingin berkarya juga deh sama kayak kakak.
BalasHapusterima kasih
Yasmin : makasii banyak ya udah baca I Need You:) yuukk!! aku juga masih mau berkarya terus;D jangan lupa bilang ke temen-temennya yang belum baca yaaa:D
BalasHapusassalamualaikum kak...
BalasHapuskak fiona, aku juga ingin jadi penulis kayak kakak... aku udah kirim beberapa kali tapi selalu ditolak penerbit. ada tips nya gak kak supaya aku bisa jadi penulis seperti kakak? plis kak, balas komentar aku. aku juga udah baca buku kakak yang judulnya 'i need you' ceritanya sangat bagus lho kak. maaf ya kak, kepanjangan. hehe....