Aku menatap langit-langit kamar dengan tatapan
kosong, teringat alasanku pindah ke Jakarta, teringat Nada dan teringat pada
Rendy. Rendy, dia termasuk ke dalam alasanku pindah ke kota metropolitan ini.
Dia memintaku untuk menjaga teman masa kecilnya yang sering ia bicarakan
denganku tanpa memberitahu siapa namanya, dia memintaku untuk menjaga cinta
pertamanya dan sampai sekarang pun, aku belum menemukan siapa orang itu.
“Ndra, jagain
dia ya.” ucapnya waktu itu.
“Lagian lo kenapa enggak ngasih namanya ke gue sih,
Ren?!” dengusku. Lalu, pikiranku melayang pada Nada, pada gadis yang sibuk
mengurusi penantiannya pada seseorang yang tak kunjung pulang, gadis yang
terlihat kuat tapi sangat rapuh jika kau membicarakan hal-hal yang tergolong
‘anti’ pada dirinya, gadis yang berhasil didekatinya beberapa bulan terakhir
dengan perantara hujan.
“Susah punya temen kayak lo, Ren. Ngerepotin aja, lo
ah!” sambungku sambil mengacak rambut.
***
Beberapa hari ini, Nada berhasil membuatku tidak konsentrasi
melakukan apapun. Ia berhasil membuat pikiranku terfokus padanya dan membuatku
memikirkannya seharian penuh. Pikiran itu membuatku merindukannya, tapi, jarak
Jerman – Indonesia itu sangat jauh, setidaknya jika kau melaluinya dengan
berjalan kaki. Sebenarnya, aku bisa saja pulang ke Indonesia dalam waktu dekat
karena sedang liburan, tapi, aku sedikit ragu untuk menemui Nada.
Pikiranku melayang ke keadaan satu tahun lalu,
setelah masa student exchange-ku
berakhir, aku sempat pulang ke Indonesia dan menemui Andra.
“Ndra, gue
denger orangtua lo pindah tugas ke Jakarta? Jadi gimana? Lo ikut pindah?”
tanyaku. Andra mengangkat alisnya dan menghela napas.
“Mau enggak
mau, ikutlah Ren. Padahal gue belom siap ninggalin kota hujan, lo tau kan
se-maniac apa gue sama ujan-ujanan. Di Jakarta mah, ujannya jarang.” Aku
menatap Andra dan tersenyum kecil. “Lo gimana? Udah selesai nih student
exchange-nya?” sambungnya. Aku menghela napas panjang dan menghembuskannya
perlahan.
“Harusnya
udah.” Andra menatapku heran. “Iya, harusnya udah. Tapi, ternyata gue dapet
beasiswa buat nerusin sekolah di sana. Rencananya, besok gue mau ngurus
surat-surat dari sekolah dan langsung berangkat lagi ke Jerman.” jelasku. Andra
memicingkan mata.
“Lo harus pisah
lagi sama temen lo itu? Enggak sedih? Lo rela ninggalin dia? Enggak takut pas
pulang dia udah ilang lagi kayak waktu itu?” sembur Andra. Aku menelan
bulat-bulat semua pertanyaan Andra.
“Harusnya lo
tau jawabannya, Ndra. Gue harap dia enggak ilang lagi, lo mau jagain dia?”
Andra membelalakan matanya, menatapku tidak percaya.
“Harusnya lo
juga enggak ngulangin kesalahan yang sama lagi, Ren. Lo enggak mau pamit dulu
sama dia? Masa iya habis ngurus surat-surat lo langsung balik lagi ke Jerman?
Ninggalin dia tanpa dia tau gimana keadaan lo? Lo emang gila.”
Sebenarnya,
ucapan Andra memang benar, tapi, aku enggak mau lagi ngeliat ekspresi Nada yang
seperti menahan air mata, aku enggak mau lagi.
“Gue enggak mau
liat dia nangis, Ndra. Yah, walaupun mungkin dia sedih karena gue temen
kecilnya dia dan enggak lebih, tapi, sama aja. Gue enggak suka liat dia
nangis.” Aku mengatur napas. “Ndra, jagain dia ya.” Sambungku. Akhirnya, Andra
mengangguk dan menanyakan nama sekolahku dan Nada sebelum akhirnya aku memutuskan
untuk pamit.
***
“Kalo kangen, lo bisa pulang.” sahut seseorang. Aku
menoleh dan menemukan sosok Rana – salah satu murid student exchange yang mendapat beasiswa – di sebelahku. Selama aku
berada di sini, dialah tempatku menceritakan semua tentang Nada.
“Eh, Ran. Pulang? Ke Indonesia maksud lo? Gue enggak
punya muka buat pulang ke sana, Ran.” tanggapku. Rana berdecak dan menghela
napas.
“Yah, kalo kayak gitu… lo tanya sama hati lo, lo udah
siap kehilangan dia? Buat yang kedua kalinya?” tanya Rana. Aku terdiam.
“Pikirin baik-baik!” sambungnya sambil berlalu meninggalkanku dengan
pertanyaan-pertanyaannya.
***
Aku sontak menutup notes-ku ketika Nada tiba-tiba
menepuk pundakku. Makin hari, gadis itu semakin gampang tersenyum.
“Ngapain lo?” tanyanya sambil memperhatikan notes-ku.
“Enggak ngapa-ngapain, sama sekali enggak
ngapa-ngapain.” Nada berdecak dan menghembuskan napasnya.
“Gue liat!” serunya sambil merampas notes-ku.
“I found my
first love
She loves rain
and petrichor
But she loves
‘him’ too”
“Rainy
afternoon
You told me
about someone
It hurt me, you
know?”
“Suka puisi juga?” tanya Nada ketika ia telah membaca
notes-ku hingga tulisan terakhir.
“Kalo lo tau, itu bukan puisi. Itu haiku. Gue lebih suka haiku daripada puisi,
bikin haiku harus jauh lebih kreatif daripada bikin puisi, bukan cuma pemilihan
kata, tapi juga jumlah suku katanya. 5, 7, 5. Harus kayak gitu.” jelasku. Nada
ber-oh panjang.
“Tunggu deh, haiku itu apa?” tanyanya kemudian.
‘Oh, dia suka
sastra.’ pikirku.
“Haiku itu sejenis puisi Jepang. Baris pertama, suku
katanya harus 5, baris kedua harus 7, baris ketiga harus 5 juga. Nanti coba
bikin deh di rumah, sekalian asah otak.”
“Ooohh… gue lebih suka puisi, sih. Gue enggak nyangka
lo beli notes ini buat nulis haiku, gue kira buat catetan. Terus, gue juga
enggak nyangka lo suka sastra. Secara cowok kan jarang yang suka sastra.” tanggapnya.
“Dulu, gue suka gambar. Bagi gue, satu gambar itu
bisa memaknai banyak hal. Tapi, ternyata tulisan itu lebih menarik dari gambar,
tulisan bisa nerangin berjuta perasaan di tiap kalimatnya. Sampe sekarang, gue
masih suka gambar, tapi untuk urusan perasaan, gue lebih suka ngelampiasin ke
kata-kata manis. Haiku misalnya.”
“Setuju. Gue suka ujan karena biasanya, gue selalu
dapet inspirasi tulisan dari sana. Dulu, gue suka ngelanjutin setiap kata-kata
orang jadi puisi, tapi, sekarang udah enggak sejak orang-orang di sekitar gue
ternyata enggak nyaman kalo gue lanjutin terus, kata mereka, gue terlalu melankolis.” ucap Nada. Aku menghela
napas dan tertawa kecil.
“Ya lo ngapain ngelanjutin setiap kata-kata orang
jadi puisi? Ada-ada aja, lo.” balasku.
***
“Ya lo ngapain
ngelanjutin setiap kata-kata orang jadi puisi? Ada-ada aja, lo.” Ucapan
Andra barusan membuatku menyadari bahwa tidak ada satu orang pun yang ikhlas
membiarkanku untuk meneruskan kata-kata yang mereka ucapkan menjadi rangkaian
puisi, tidak seorang pun kecuali Rendy.
Aku yang sudah menyukai puisi sejak kecil, tau benar
seberapa sabarnya Rendy setiap aku melanjutkan kata-katanya menjadi puisi,
walaupun aku tau Rendy sama sekali tidak menyukai sastra, dia hanya menyukai musik
dan olahraga.
“Rindu itu
datang lagi,
Dengan sosok
yang sama,
Dan nama yang
sama,
Kamu.”
Aku membaca ulang rangkaian kata-kata yang
sekarang tergores di halaman terakhir, buku ini sudah cukup lama menemaniku,
sudah cukup lama ikhlas mengorbankan setiap kertasnya ditulisi beberapa bait
puisi, tak semuanya tentang Rendy, tak semuanya tentang cinta, tapi, semuanya
pernah terjadi dalam hidupku. Semuanya pernah mengambil bagian dari kehidupanku
dan membuatku seperti ‘aku’ yang sekarang.
***
Rendy menatap layar laptopnya dengan tatapan kosong.
Em, salah. Tidak benar-benar kosong, ia memfokuskan pandangannya pada satu
kontak YM-nya. Ini sudah tengah malam di Jerman dan ia tidak bisa tidur,
pertanyaan-pertanyaan Rana menghantui pikirannya.
Nada. Kontak itu yang sejak tadi menarik pandangan
Rendy, dia online dan ia sama sekali
tidak mengirimi Rendy satu pesan pun. Dengan ragu, Rendy memulai percakapannya
dengan Nada sejak… 2 tahun.
“Hai. Apa
kabar?”
Gadis itu terdiam, sebentuk senyum kecil terlihat
jelas di wajahnya, pesan itu membuatnya tersenyum sekaligus membuat matanya
sedikit berair. Andra.
“Nad, lusa gue
mau berangkat ke Lombok, nyusul orangtua gue. Mau nemenin gue ke bandara?”
Yah, tempo hari, Andra sempat menceritakan tentang
kakeknya yang sedang sakit di Lombok dan orangtuanya yang sejak minggu lalu
sudah ada di sana untuk menjaga beliau kepada Nada, tapi, tidak dengan
rencananya menyusul mereka ke Lombok.
“Iya.” balas
Nada singkat.
Sementara di sisi lain kamar, laptop Nada sibuk
menampilkan tab YM-nya yang berkedip-kedip menandakan pesan masuk. Pesan dari
orang yang selama ini ia tunggu, pesan dari orang yang selama ini ia rindukan,
pesan dari orang yang bahkan tidak pernah ia lupakan, pesan dari Rendy.
***
“Kenapa lo masih ada di sini?” tanya Rana. Aku
mengacak rambutku. “Pikiran lo itu udah enggak jalan apa gimana, deh? Lo mau
ngelepas dia? Lo mau keilangan dia lagi? Iya?” sambungnya.
“Semalem gue chat
dia di YM, Ran. Enggak ada balesan… buat apa gue pulang?” tanggapku. Rana
menghela napas dan menatapku tajam.
“Terus menurut lo kenapa dia enggak bales?”
“Enggak tau. Mungkin dia udah lupa sama gue, iya
enggak?” Rana menggeleng.
“Enggak. Yang lebih mungkin sih, dia udah dapet pengganti lo.” Aku terdiam. Serius, Rana
itu cewek paling pedes yang pernah
kukenal. Ucapannya selalu nusuk.
“Ran… enggak ada kata-kata yang lebih nusuk?” Rana
tersenyum licik.
“Yah… atau mungkin, dia udah punya pacar kali
sekarang. Mana ada cewek yang mau nungguin cowok kayak lo segini lama tanpa
kabar? Mana enggak pamit juga, yah… abis udah harapan lo sama dia, Ren. Salah
lo sendiri, sih.”
“Kayaknya enggak, gue udah nitipin dia ke temen gue,
sih. Yah, walaupun gue enggak kasih tau namanya, gue yakin temen gue udah
nemuin dia.” ucapku. Rana berdecak untuk
kesekian kalinya.
“Itu lebih parah. Lo nitipin dia sama temen lo? Tanpa
ngasih tau namanya? Bisa jadi orang yang gantiin lo itu temen lo, atau yang
jadian sama dia itu temen lo, gimana tuh?” Aku mengepalkan tanganku. Kalau saja
yang ada di hadapanku bukan Rana versi perempuan seperti ini, aku pasti sudah
meninjunya sekarang juga. “Udah, sih. Enggak usah emosi gitu… karena gue temen
yang baik… nih.” sambungnya sambil memberiku selembar tiket.
“Ran…?”
“Lupain gengsi lo, percuma aja semua cerita lo
tentang kegalauan lo itu enggak ada apa-apanya kalo lo cerita sama gue doang,
lo harus temuin dia. Itu penerbangan jam 12.” sahutnya.
“Gue enggak tau harus ngomong apa, makasih, Ran.”
“Take it easy.
Em, as easy as you left her.” Aku berdecak, sial. “Ngomong-ngomong, lo
enggak usah rebet mikirin tentang tiket itu, lo pergi aja dulu, kalo mau ganti…
nanti aja pas pulang ya.” lanjutnya. Aku tertawa kecil dan mengangguk mantap.
“Santai. Makasih, Ran!” tanggapku sambil berlalu
meninggalkan Rana.
***
Aku mengecek laptopku yang kutinggal tidur semalaman
dan menemukan satu pesan masuk di YM-ku. Oh, sosok itu kembali lagi? Apa kabar
dia? Aku tersenyum kecil membaca pesannya. Singkat, tapi pesan itu terasa
menyenangkan bagiku.
“Halo! Baiikk…
lo gimana?” balasku. Senyumku tidak berhenti mengembang selama aku
memandang layar laptopku. Namun, tak ada balasan. Datang, pergi, datang lalu
pergi lagi. Yah, namanya juga hidup. Orang-orang ada agar mereka bisa pergi,
itu alasannya.
***
Bandara Soekarno Hatta.
Aku mengalihkan pandanganku pada jam tangan. Tepat
pukul satu dan di sinilah aku dan Andra berada. Hari ini, Andra berangkat ke
Lombok dan meninggalkanku seperti Rendy. Bedanya, ia pergi dengan jarak yang
lebih dekat dan tujuan yang lebih jelas.
“Penerbangan lo masih lama banget, kenapa juga sih
kita harus udah sampe sini jam satu?!” omelku. Andra tersenyum kecil.
“Ya maap, gue kira bakal macet banget, eh ternyata
enggak. Jadi kecepetan deh nyampe sininya, kita ke sana dulu aja deh, yuk!” ajaknya
sambil menggamit tanganku menuju sebuah coffee
shop.
***
Aku menghela napas panjang dan menghembuskannya.
Rasanya, aku ingin menghabiskan oksigen saat ini juga, aku rindu Indonesia.
Indonesia. Itu berarti, jarakku dengan Nada semakin
dekat dan aku bisa bertemu keluargaku, bertemu Andra dan menanyakan hal-hal
yang kuinginkan kepada Nada. Aku benar-benar tidak bisa menunggu hal-hal itu.
Aku melangkahkan kakiku ke sebuah kedai kopi dan
memutuskan untuk menikmati makan siangku di sana.
“Oreo caramel
frappe, satu.” sahut sebuah suara. Aku terdiam. Suara itu… minuman itu…
Nada? Aku menoleh dan menemukan Nada di sisi lain kedai. Nada? Mau apa dia di
sini? Apa dia mau pergi? Tanpa pikir panjang, aku menghampirinya.
“Hai, Nad.” sapaku. Nada terkesiap dan memandangku
dengan tatapan aneh. Kemudian, sebentuk senyum kecil terpampang di wajahnya.
“Rendy!” jeritnya sambil menubruk tubuhku, memelukku
erat. Setelah Nada melepaskan pelukannya, aku mengalihkan pandanganku ke arah
lain, arah di mana ada sosok lain yang ku kenal, arah di mana ada Andra di
sana, tepat di seberang tempat duduk Nada. Lalu, sesaat kemudian… ucapan-ucapan
Rana kembali terngiang di telingaku. Semoga apa yang dikatakan Rana tentang
Andra dan Nada tidak terjadi.
“Ndra?” sahutku sambil menepuk pundak Andra yang
masih melihat kami dengan tatapan aneh dan bingung.
“Eh, Ren… duduk sini!” tanggapnya sambil menggeser
posisi duduknya. Aku mengangguk dan menempatkan diriku di sebelah Andra.
***
Awkward. Itulah yang terjadi sekarang, saat ini, di
antara aku-Nada-Rendy. Mana aku tau kalau teman masa kecil Rendy adalah Nada?
Mana aku tau kalau orang yang selama ini ditunggu oleh Nada adalah Rendy? Dan
mana aku tau kalau ternyata aku jatuh cinta di orang yang salah? Aku menggeleng
cepat, menghalau segala pemikiranku dan berusaha bersikap sebiasa mungkin.
“Jadi, ada apa di antara kalian?” tanya Rendy setelah
mereka – Rendy dan Nada – selesai membahas pertanyaan ‘mengapa Rendy bisa
mengenalku?’ Nada menggeleng cepat mendengar pertanyaan Rendy.
“Enggak ada apa-apa. Kita temen yang deket karena
hujan.” tanggapku. Sementara itu, Nada menepuk jidatnya. Em, poin satu :
‘jangan bicarakan hujan dengan Rendy.’
“Hujan? Oh, oke. Lalu? Hubungan spesial misalnya?”
tanyanya lagi. Nada lagi-lagi menggeleng.
“Enggak ada, Ren. Kalo kamu inget… kamu pasti tau
kenapa.” jawabnya. Nah, poin dua : ‘jangan pernah berada di antara orang yang
saling sayang jika kalian menyayangi salah satu di antaranya.’ Rendy hanya
mengangguk dan tersenyum kecil.
“Kalian kenapa ada di sini? Siapa yang mau pergi?
Enggak mungkin kan lo di sini buat jemput gue? Orang gue enggak bilang apa-apa.”
sembur Rendy.
“Masih Rendy yang kalo nanya rombongan.” sela Nada.
Aku menghela napas, mereka sangat mengenali satu sama lain. Iya.
“Gue, Ren. Gue mau ke Lombok, kakek sakit dan
sebentar lagi penerbangannya. Gue duluan ya, lo ngobrol-ngobrol aja dulu.”
jawabku sambil berlalu pergi meninggalkan Rendy dan Nada.
Aku berjalan keluar dan menghela napas, penerbanganku
masih kurang lebih satu setengah jam lagi, tapi, aku memutuskan untuk
memisahkan diri dari mereka dan menunggu di luar dan jauh dari tempat tadi.
Mereka berdua temanku, Rendy adalah sahabatku, aku tidak akan pernah merebut
apapun darinya, apalagi Nada. Cewek itu selalu jadi cewek yang paling berharga
dalam hidupnya setelah sang ibu.
“Jadi, gue harus ngelupain perasaan gue ke lo ya,
Nad? Apa gue mendingan pindah ke Lombok aja sekalian?” gumamku.
“End of my
journey
Finally, you
meet your love
Who is my best
friend”
***
Rendy memerhatikan setiap lekuk wajah Nada, tidak
sedikit pun berubah. Ia masih seperti Nada yang dua tahun lalu.
“Ren… kamu enggak mau bilang apa dulu gitu sama
Andra?” tanya Nada. Rendy mengangkat alisnya.
“Em? Maksudnya?” Nada berdecak.
“Dia kan temen kecil kamu, ya seenggaknya say goodbye gitu….” Rendy tertawa kecil
dan mengacak rambut Nada.
“Dia enggak selamanya di sana kan, Nad? Oh iya,
ngomong-ngomong… kalian sama-sama suka hujan, kamu tau?” Nada menggeleng.
“Andra juga suka sastra, aku nyaris jatuh cinta
sama…-”
“Apa? Nyaris? Baru nyaris kan? Belom jatuh cinta
beneran?” Nada memandang Rendy dengan tatapan sinis.
“Lo apaan deh? Dia tuh yang selalu rela gue curhatin
selama lo enggak ada, dia yang ngajak gue main ujan-ujanan lagi, nyaris perfect kaann??” Rendy mengepalkan
telapak tangannya.
“Lo… suka sama dia? Sama Andra?” Nada menggeleng.
“Enggak. Dia enggak suka kalo gue lanjutin
kata-katanya jadi puisi. Terus, gue juga nungguin orang, kok.” Rendy
mengernyit, mengangkat alisnya dua sentimeter dan memandang Nada dengan tatapan
bingung.
“HAHAHAHA…. Dari bermilyar-milyar orang di dunia ini,
kayaknya cuma gue yang ikhlas dengerin ocehan puisi lo itu, deh.” tanggap
Rendy. Nada mendengus. “Apa? Nungguin orang?”
“Iya. Lo?” tanya Nada. Rendy tersenyum singkat.
“Gue juga lagi nungguin orang. Eh, bukan deng. Gue
bikin janji sama orang lebih tepatnya.” Nada terdiam, menatap Rendy dengan
tatapan penuh tanda tanya.
“Siapa?” tanyanya kemudian. Rendy tertawa kecil dan
menggamit tangan Nada, menggenggamnya erat.
“Kamu.” jawab Rendy.
***
Nada tersenyum mendengar bait-bait puisi yang
dibacakan Rendy. Dulu, Nada pernah bilang kalau dia tidak suka cara menembak
orang-orang yang menurutnya pasaran. Paling kata-katanya itu doang, menurutnya,
itu udah basi. Dan Rendy berhasil menemukan cara yang kemungkinan besar membuat
Nada jatuh cinta dan menerimanya. Puisi. Iya, kecintaan cewek itu pada puisi
sejak kecil membuat Rendy sangat mengerti Nada.
“Bikin sendiri?” tanya Nada ketika Rendy selesai
membacakan puisinya. Rendy mengangguk mantap.
“Iya. Jadi…?” Nada mengangkat satu alisnya.
“Jadi, apa?” Rendy tersenyum kecil.
“Jadi, ketika penantian itu tiba, will you be my girlfriend?” ucapnya.
Nada tersenyum dan mengangguk sedangkan Rendy semakin mengeratkan genggamannya
pada Nada.
“Dia memang
terlalu manis untuk dibiarkan menunggu lama, maaf Nad.” ucap Rendy dalam
hati sambil mendekap erat tubuh kecil Nada dan mengacak rambutnya.
***
Finished ya. Yang
ini just like ‘so-so.’ Maafff masih kurang sana sini. Makasih yaa udah dibacaaaJ
Komentar
Posting Komentar