Aku menutup buku latihan ujian nasional SMA dengan
kantuk yang tak tertahankan, dengan mata yang tinggal 5 watt dan dengan otak
yang penuh dengan soal-soal IPS. Ini sudah dua tahun sejak kamu pergi, Ren. Apa
kamu terlalu betah di sana?
Rendy itu gila. Dia selalu melakukan sesuatu yang
sebenarnya di luar dugaanku. Aku menyimpulkan hal itu sejak aku mengetahui
kalau Rendy sudah tidak lagi tercatat sebagai murid di sekolahku. Dia pindah
sekolah dan masih di Jerman. Apa dia mengabariku
sejak masa satu tahunnya itu sudah terlewati? Sama sekali tidak. We’re just like stranger now.
***
Aku mengangkat tangan dan membiarkan rintik hujan
siang ini membasahi telapak tanganku. Sampai detik ini, hujan masih menjadi
kesukaanku, tiap tetesnya memiliki arti tersendiri bagiku.
“Kok belom pulang? Enggak bawa payung?” sahut
seseorang. Aku menoleh dan menemukan Andra berdiri tepat di sebelah kiriku.
“Bawa, tapi, kalo pun gue bawa payung, gue lebih
milih pulang ujan-ujanan.” tanggapku.
“Kenapa?” tanyanya. Aku menghela napas dan membiarkan
tetesan hujan itu tertampung di kedua telapak tanganku.
“Soalnya, dulu, ada orang yang selalu ngelarang gue
ujan-ujanan. Sejak ada dia, gue jadi jarang ujan-ujanan, deh.” jelasku. Aku
memperhatikan Andra yang sekarang ikut memainkan telapak tangannya di tengah
rintikan hujan.
“Dia yang lo ceritain persis banget temen gue, deh.
Dia paling enggak suka gitu kalo cewek yang dia sayang maen ujan-ujanan. Jadi,
kenapa lo enggak pulang? Katanya udah jarang ujan-ujanan?” Aku menggeleng
lemah.
“Enggak mau, udah kebiasaan enggak ujan-ujanan dan…
sekarang, kalo ujan-ujanan sebentar aja udah demam.” Andra hanya ber-oh
panjang.
“Gue tungguin, deh.” Aku menggeleng cepat.
“Enggak usah, kok.” Tapi, Andra tak bergeming, ia
tetap di tempatnya dan masih memainkan tangannya di dalam hujan.
Andra. Dia murid baru dari Bogor dan masuk sekolahku
tepat waktu kenaikan kelas sebelas dan sudah dua tahun ini aku satu kelas
dengannya. Ya, satu kelas, memang. Tapi kami sama sekali tidak pernah
berbincang lebih dari “nama lo siapa?” sebelum hari ini tiba.
“Kalo ujan gini, apa yang lo pikirin?” tanya Andra.
Aku tersadar dari lamunanku, hujan sudah mulai reda, hanya menyisakan beberapa
titik genangan air yang memantulkan semburat sinar matahari.
“Hidup, petrichor
dan seseorang di masa lalu.” Hening. Tidak ada lagi jawaban dari Andra dan aku
sama sekali tidak berminat melanjutkan pembicaraan ini. Such a boring conversation, huh.
***
Ren, apa kabar?
Udah lupa letaknya Indonesia?
Aku membaca pesan-pesan lama Rendy dan sesekali
tertawa kecil. Dia yang membuatku suka memikirkan hidup dan dunia. Rendy juga yang
selalu bilang ‘Dunia itu fana, makanya
gue enggak mau terlalu cinta sama dunia.’ dan dia juga yang sekarang tak
kunjung kembali.
Satu hal yang membuatku sangat membenci sosok Rendy
saat ini adalah… dia enggak perlu susah-susah belajar buat UN. Dia enggak perlu
berhadapan dengan setumpuk buku latihan UN seperti aku sekarang tapi, mungkin dia
berhadapan dengan tumpukan buku yang lebih banyak dariku dan sepertinya dengan
materi yang lebih berat.
***
Andra mengajakku pulang bersamanya hari ini dengan
alasan ada buku yang mau dia cari dan butuh bantuanku untuk menemukannya.
Awalnya, pikiranku menanggapi ajakannya dengan ‘cari aja sendiri, emangnya gue
penjaga toko buku?’ tapi, setelah kupikir-pikir, aku berubah pikiran menjadi ‘ah,
udah lama juga gue enggak ke toko buku, ya udah deh.’
Dan di sinilah aku sekarang, di sebuah toko buku import yang juga kesukaanku. Andra sibuk
menjelajahi seluruh rak-rak di toko ini sementara aku ogah ngikutin dia kemana-mana, aku lebih memilih sibuk dengan
duniaku sendiri dan memisahkan diri darinya.
“Gue ngajak lo kesini buat bantuin gue nyari buku, lo
malah enak-enakan di sini. Bantuin gue!” sahutnya ketika kami tanpa sengaja
berpapasan. Aku berdecak.
“Emang lo nyari buku apa?” tanyaku pada akhirnya.
“Notes.” jawabnya ringan. Aku membelalakan mata.
“No-tes? Buku catetan? Eh kuncrit, kalo itu kan lo
bisa cari sendiri! Ngapain lo ajak gue? Ck.” Andra tertawa kecil dan menyeretku
ke tempat di mana notes-notes yang dicarinya itu berkumpul.
***
“Mendung, nih. Kalo ujan gimana?” seru Andra.
Walaupun Andra sudah berteriak, tetap saja aku tidak dapat mendengar suaranya
dengan jelas, mesin-mesin kendaraan dan suara bising klakson mengganggu
pendengaranku.
“APA??!” jawabku.
“KALO UJAN GIMANA??!!” Belum sempat aku menjawabnya,
rintikan hujan itu mulai turun dan semakin deras. “NEDUH ENGGAK??” tanya Andra
lagi.
“ENGGAK USAH, NDRA!” tanggapku. Hujan, biarlah hujan.
Urusan nanti demam tinggi atau tidak, itu urusan belakangan. Yang penting aku
ngerasain ujan-ujanan lagi.
Ketika pakaianku sudah basah kuyup dan membuatku
menggigil, sampailah kami di rumahku. Mama dan papa tidak ada di rumah, mereka
kerja.
“Ndra, bawa baju ganti enggak?” tanyaku pada Andra
yang kini – sepertinya – sedang menahan dingin. Andra hanya menggeleng dan
tersenyum simpul.
“Enggak, gue langsung pulang aja ya Nad. Mumpung
masih ujan, gue suka banget ujan-ujanan, sih.” jawab Andra. Tiga detik
selanjutnya, tidak terdengar lagi suara mesin motor itu.
***
Kadang, ketika penantian itu terasa membosankan, ada
sosok lain yang menawarkan kebahagiaan dan sebenarnya aku tidak berharap sosok
itu dia. Dia yang mengajakku bersenang-senang lagi, dia yang mengajakku seakan
kembali ke masa kecilku, katakanlah dia Rendy yang hilang.
Sore ini hujan lagi, aku duduk di koridor sekolah
sambil memainkan kakiku di lantai, membuat suara berdecit setiap karet sepatuku
bersentuhan dengan lantai yang mulai dingin.
“Nunggu ujan?” tanya Andra yang sekarang sudah duduk
di sebelahku dan menenggak air mineralnya. Aku tersenyum kecil dan menghela
napas.
“Keliatannya?” Andra hanya mengangguk.
“Kemaren kan udah ujan-ujanan terus dan kamu enggak
sakit, kenapa sekarang harus nunggu ujan reda?” Aku terdiam dan menghela napas
lagi.
“Iya, tapi, gue bukan lagi mau ujan-ujanan. Ada
beberapa hal yang ngerecokin pikiran gue.” Hening. Tak ada balasan dan
pikiranku benar-benar sedang pergi entah ke mana.
“Em, Ndra, kalo orang yang nyuruh lo nunggu enggak
pulang juga… apa yang lo lakuin?” Andra tampak berpikir keras, dahinya berkerut
dan alisnya naik dua sentimeter.
“Penantian cinta, ya? Jangan nunggu yang enggak
pasti, lah. Kalo gue yang ngalamin, gue lebih milih buat ngelupain orangnya
sih.” Aku menghela napas. Tidak membantu banyak. Melupakan Rendy? Apa bisa?
Setelah bertahun-tahun dan bahkan dia tidak pernah hilang dari memori otakku
barang sedetik pun? Rasanya mustahil.
“Kalo orang itu udah terlalu berarti buat lo? Udah
terlalu berharga buat lo? Lo bisa lupain dia?” tanyaku lagi. Andra menghela
napas dan meluruskan kakinya.
“Gini nih… cewek. Neng, yang namanya hidup itu,
perpisahan cuma hal biasa, hal kecil yang pasti dirasain semua orang. Anak umur
tiga tahun aja bisa kok ngadepin perpisahan pake senyum, kenapa lo enggak? Anak
kelas 1 SD yang ditinggal temennya pindah sekolah aja bisa cari temen baru,
kenapa lo enggak? Hidup enggak segampang ngebalikin telapak tangan, lo enggak
bisa stuck di orang yang udah lama
enggak pulang. Lo bahkan enggak tau kayak apa dia sekarang kan? Apa dia udah
punya pacar? Dia masih baik atau udah lupa sama lo? Lo enggak tau kan?”
Telak. Rentetan kalimat itu cukup membuatku ‘jleb’
tapi, sebenarnya Andra tidak harus mengucapkan kalimat-kalimat yang bikin nge-down gitu, sih.
“Lo kenal sama dia dari umur berapa? Kelas berapa?”
tanya Andra setelah terjadi keheningan panjang.
“Dari kecil, enggak inget umur berapa. Kelas… satu.”
“Ya ampun. Kenapa juga gue mesti dicurhatin hal yang
kayak gini berkali-kali? Sama lo, sama temen gue… ada apa dengan dunia ini,
deh? Gue aja sama sekali belom ketemu sama cewek yang ‘pas’ buat gue, eh… lo
malah udah ketemu cinta pertama lo waktu kelas satu SD.” Aku membelalakan mata.
“Dia-bukan-cinta-pertama-gue!” tolakku sedangkan
Andra hanya tertawa terbahak-bahak mendengar penolakanku.
***
Hujan sudah reda dan aku memutuskan untuk pulang.
Tapi, ketika aku baru saja bangkit dari duduk, Andra menahan tanganku. Aku
menoleh.
“Seberapa berharganya dia buat lo? Segitu berartinya?”
tanya Andra. Aku melongo, terdiam dan berpikir.
“Gue cuma butuh satu kata buat jawab pertanyaan lo
itu, Ndra. Sangat.” jawabku sambil tersenyum tipis. Andra melepaskan tanganku,
aku berlalu pergi meninggalkan Andra sendirian.
“Sakit, Nad.” gumam cowok itu sambil memandang Nada
yang mulai menjauh dari belakang.
***
Aku mengetuk-ngetuk pulpen ke kepalaku, kalimat menyebalkan
Andra tadi berhasil membuatku tidak konsentrasi mengerjakan soal-soal latihan
ini.
“Gini nih… cewek.
Neng, yang namanya hidup itu, perpisahan cuma hal biasa, hal kecil yang pasti
dirasain semua orang. Anak umur tiga tahun aja bisa kok ngadepin perpisahan
pake senyum, kenapa lo enggak? Anak kelas 1 SD yang ditinggal temennya pindah
sekolah aja bisa cari temen baru, kenapa lo enggak? Hidup enggak segampang
ngebalikin telapak tangan, lo enggak bisa stuck di orang yang udah lama enggak
pulang. Lo bahkan enggak tau kayak apa dia sekarang kan? Apa dia udah punya
pacar? Dia masih baik atau udah lupa sama lo? Lo enggak tau kan?”
Ren, setega-teganya aku sama kamu… aku enggak akan
ngelupain kamu. Apa kamu ngelupain aku? Apa kamu di sana masih inget kalo kamu
pernah nyuruh cewek nungguin kamu di Indonesia? Kalo emang udah lupa, kabarin
Ren, supaya aku enggak usah repot-repot nungguin kamu.
***
Yay! Jadi,
akhirnya bikin lanjutannya. Semoga suukaaaa!
Komentar
Posting Komentar