Aku
melirik jam tanganku, sudah satu setengah jam aku ada di rumah Allura tanpa
pembicaraan.
“Lur,
gue pulang ya?” ucapku membuka pembicaraan. Allura menghapus sisa air matanya
dan mengangguk kecil.
“Iya
Ver, makasih ya.” Aku mengangguk dan beranjak keluar dari rumah Allura.
“Lo
ati-ati di rumah sendirian.” Sahutku sambil memakai helm.
“Sip.
Ati-ati di jalan ya Ver!” Aku mengangguk dan menyalakan mesin motorku. Ketika
aku berlalu dari rumah Allura, aku bisa melihat gadis itu melambaikan tangannya
padaku. Terus kenapa deh?
***
Minggu
pagi yang indah. Matahari mulai terlihat di ufuk timur ketika aku tengah
bersiap untuk latihan di lapangan basket sekolah. Ibu masih sibuk menyirami
tanaman-tanamannya sedangkan ayah sibuk membaca koran dan menyeruput kopinya.
“Very!”
seru ibu. Aku mengangkat satu alisku. “Ada tamu nih!” sambungnya. Samar-samar,
aku mendengar ibu berbicara dengan seseorang dan suara gerbang rumah dibuka.
Aku berlari kecil keluar rumah.
“Oh…
Allura. Kirain siapa kek gitu. Mau ngapain lo?” ucapku ketika melihat siapa
tamu yang datang pagi-pagi gini. Ketika menyadari kalau Allura udah enggak sama
Ferdi, gue menepuk jidat. “Gue lupa lo udah enggak sama Ferdi! Terus, lo mau
ngapain?” Allura berdecak. Ayah yang melihat dari kejauhan hanya menggeleng
pelan.
“Ehe…
ada om. Assalamualaikum om….” ucap Allura sambil menerobos masuk ke dalam rumah
dan mencium tangan ayah.
“Lur…
mau ikut Avery latihan basket ya?” tanya ayah. Allura mengangguk dan tertawa
kecil.
“Ehehe…
iya om. Tuh Ver, ayah lo aja tau kalo gue mau ikut latihan basket! Ah, ga peka lo
mah!” Aku berdecak dan meraih tasku yang tergeletak di sofa.
“Yah,
aku berangkat…,” ucapku sambil mencium tangan ayah. “Assalamualaikum!”
sambungku.
“Waalaikumsalam….”
balas ayah. Aku berlalu keluar rumah dan berpamitan dengan ibu. “Ver… Allura
nya ditungguin dong!” seru ayah dari dalam rumah.
“Bu,
liat tuh ayah… kayak Allura aja anaknya.” ucapku pada ibu. Ibu hanya tertawa
dan mengacak rambutku.
“Kamu
jalan?” tanya ibu.
“Lah…
biasanya juga jalan. Ya kan, Lur?” Allura mengangguk mantap.
“Oh yaudah…
hati-hati, jagain Allura nya ya!” pesan ibu. Aku menghela nafas. Ayah sama ibu
enggak ada bedanya.
***
“Eh
Ver, lo enggak mikir gue ikut lo gara-gara gue udahan sama Ferdi kan?” tanya
Allura.
“…,”
“Ver…?
Enggak kan??”
“Enggak
kok.” jawabku sambil menghela nafas panjang.
Aku
berlari kecil meninggalkan Allura ketika Inggar menyuruhku untuk cepat
menghampirinya. Ada apa lagi??
“Ver!
Ferdi keluar dari klub.” Aku melongo tidak percaya.
“Serius??
Tapi kita enggak kekurangan orang kan buat tanding nanti??” tanggapku. Inggar
menghela nafas dan mengangkat bahu. Aku mengalihkan pandanganku pada Dewa yang
sedang memegang selembar kertas sambil mengacak rambutnya.
“Ada
apa sih, Ver, Gar?” tanya Allura.
“Mantan
lo ngundurin diri dari klub tuh. Kenapa dia??” sahut Inggar. Allura menatap
Inggar sebal.
“Mana
gue tahu dan mana gue peduli sama dia? Hih.” Inggar tertawa kecil dan mengacak
rambut Allura. Aku menelan ludah… Inggar….
“Gar,
lo ngapain megang-megang rambutnya Allura??” tanyaku. Inggar hanya nyengir dan
berlalu menghampiri Dewa.
***
“Ferdi
keluar, kita emang enggak kekurangan pemain, tapi lo tau kan Ver kalo Ferdi itu
maennya jago? Gue rada takut buat tanding.” ucap Dewa sambil meneguk air
mineralnya. Aku menghela nafas panjang. Masa iya cuma gara-gara orang kayak
Ferdi tandingnya jadi batal? Gila, kali.
“Gue
tau. Kita masih punya waktu yang cukup buat latihan, Wa. Jangan mundur….”
tanggapku sambil menepuk pundaknya. “Gue balik duluan.” sambungku.
Oke,
ku akui, Ferdi emang jago main basket, tapi kalo dia yang mutusin mundur… aku
bisa apa??? Lagian kenapa sih Ferdi malah mundur pas mau tanding? Ish. Kalo ini
masih nyangkut tentang putusnya Allura dan Ferdi, jenis kelamin Ferdi patut
dipertanyakan. Gila kali mundur cuma gara-gara putus sama cewek.
“Ver…!”
Aku tersadar dari lamunanku. “Ngelamunin apa??” tanya Allura yang tengah
memangku gitarku. Aku menghela nafas, pandanganku menyapu halaman rumah.
“Enggak.
Udah sini ah gitarnya! Gak suka banget gue liat lo maen gitar, serius.” jawabku
sambil merampas gitar dari pangkuan Allura. Enggak suka karena Allura bisa main
gitar cuma setingkat lebih rendah dari kemampuanku dan itu membuat Allura
selalu beralasan “Gue kan bisa maen gitar sendiri” setiap kali aku ingin
memainkan lagu untuknya.
“As always. Gak pernah mau ngalah sama
cewek. Avery… Avery…. Gue pulang dulu deh ya Ver, udah sore.” Allura bangkit
dan berlalu pergi.
“Eh…
Lur!” Allura menoleh dan mengangkat alisnya. “Mau gue anter enggak??” tanyaku.
Allura tersenyum lebar dan berlari kecil menghampiriku.
“Mau!”
Aku bangkit dan memakai sendalku.
“Ayo
aku anter. Kita jalan kaki, sekalian jalan-jalan sore. Hehe.” Allura tersenyum
kecut dan meninju lenganku pelan.
“Ayo
deh…!”
***
Hari
yang ditunggu-tunggu pun tiba, hari pertandingan. Aku, Inggar, Dewa dan semua
anggota tim sudah bersiap di GOR. Riuh-rendah suara pendukung masing-masing
sekolah mulai terdengar rusuh.
“Lur,
lo duduk di tempat pemain cadangan aja, deh! Gak ngebayang kalo lo duduk di
bangku suporter… jadi apa lo sama Abel dkk….” ucap Dewa sambil menyenggol
lengan Allura. Menyenggol, tapi biar gimana juga senggolan itu berhasil membuat
Allura bergerak beberapa langkah ke arah kanan. Jelas-jelas badan Dewa jauh
lebih ‘gede’ daripada Allura.
“Ish,
enggak ah! Gue duduk di bangku suporter aja, deh. Abel dkk urusan kecil.” tolak
Allura. Ini anak emang keras kepala, pulang jadi dendeng baru tahu rasa. Sejak
Abel ngerusak hubungan Allura – Ferdi, Abel dkk jadi makin sebel sama Allura
karena dia dibilang tukang nyebar fitnah. Hem.
“Ver,
dia jadi urusan lo. Bilangin tuh!”
“Laahh…
Wa…,” Terlambat. Dewa sudah berlalu pergi menghampiri Aji. “Lur, lo… duduk
disini aja. Plis, nurut sama gue kali iniiiiii aja! Gue gamau lo
kenapa-napa….”ucapku sambil menduduk paksakan Allura di bangku pemain cadangan.
“Aryo, gue nitip dia ya, jangan sampe lecet!” seruku pada Aryo. Aryo hanya
mengacungkan jempol dan menggeser tempat duduknya.
“Oke…
I’ll stay here. Janji sama gue, lo
gak bakal dapet cedera yang berarti pas maen nanti, ya?” Aku menelan ludah.
Allura….
“Bawel.”
sahutku pendek sambil berlalu meninggalkan Allura. Dari kejauhan, aku bisa
mendengar Allura berdecak.
***
Aku
meringis menahan sakitnya lututku. Kesal juga dapet lawan main yang pake acara
main kasar, habislah lututku dihantam sepatu basket.
“Kuat
maen lagi gak lo??” tanya Dewa. Aku mengangguk mantap dan berjalan masuk ke
lapangan dengan terpincang-pincang.
“Lo
kalo mau bales, jangan sampe ketauan wasit!” bisik Inggar. Idiot. Lagi tanding
sempet-sempetnya ngomongin bales dendam.
Gaada
waktu buat ngelirik Allura, permainan ini bertempo cepat, meleng dikit bisa
kebobolan. Aku menerima lemparan Dewa dan terus men-dribble bola basket mendekati ring lawan dan men-shoot-nya. Masuk. Riuh-rendah tepuk
tangan dan sorakan-sorakan terdengar ramai. Aku tersenyum singkat melihat sosok
itu berdiri dan bertepuk tangan sambil mengacungkan jempolnya padaku.
***
Pertandingan
berakhir dengan kemenangan pada timku. Puas. Walau tanpa Ferdi… kita tetep bisa
menang kan??
“Lo
bener, Ver. Tanpa Ferdi juga kita bisa menang, makasih ya bro!” ucap Dewa
sambil menerima air mineral yang disodorkan oleh Vanya, pacarnya.
“Sip
lah, Wa. Gue…-”
“Enggak
usah dilanjutin, gue udah tahu. Go, now! Tembak
sekalian!” seru Dewa. Aku tersenyum simpul dan berlari kecil menghampiri Allura
yang tengah celingak-celinguk kebingungan.
***
“Cieee…
selamat ya selamaaattt!” ucap Allura. Aku tersenyum lebar dan mengacak rambut
Allura.
“Ehehe…
makasiihh yaa Luurr! Makasih juga udah mau dateng kesini.” jawabku. Allura
hanya tersenyum. “Lo kok enggak so sweet banget sih, Lur?? Kasih minum kek,
haus tau!” sambungku. Allura menyerahkan satu botol air mineral padaku dengan
kasar.
“Nih!
Manja banget!” Aku tertawa kecil dan menerimanya.
“Oh
iya, Lur. Maaf ya gue gak bisa nepatin janji sama lo.” sahutku sambil meletakan
botol air.
“Maaf?
Janji??”
“Tentang
cedera. Emang enggak berarti, sih… tapi ya lumayan kalo bikin pincang mah.”
Allura tersenyum. Aku terdiam, senyum itu selalu berhasil membuatku melting.
Beberapa
menit setelahnya terjadi keheningan yang panjang. Tak satupun dari kami yang
berbicara, tidak aku atau Allura.
“Em…
Lur, ikut gue yuk!” ucapku membuka pembicaraan. Aku menjulurkan tanganku
padanya dan Allura menyambutnya.
“Kemana?”
Aku tidak menjawab dan menuntun Allura ke tengah-tengah lapangan basket.
“Avery, mau ngapain di tengah-tengah?? Kayak orang gila tau enggak?” Aku
mengabaikan ucapan Allura.
“Boleh
pinjem tangan kamu yang satu lagi?” tanyaku. Allura mengangguk kecil. Aku
menggandeng dua tangannya dan menatap matanya dalam-dalam.
“Ver,
disini rame kaliii… ngapain disinii??! Malu tauu!!” bisik Allura.
“Malu?
Peluk aku aja kalo malu.” candaku. Aku menggenggam tangan Allura erat, telapak
tangannya basah. Grogi? Harusnya aku.
“Lur,
aku serius….” ucapku sambil memandang matanya.
“Ya
udah kalo serius itu cepetan!” omel Allura. Aku tertawa kecil.
“Lur…
gue sayang sama lo dan gue enggak bisa mungkirin kalo sayangnya bukan sekedar
karena lo sahabat gue. Gue sayang lo… tulus, Lur. Lo mau enggak jadi cewek
gue?” sambungku dengan suara lantang. Anggota timku yang penasaran dengan apa
yang kulakukan di tengah lapangan mendekat sedangkan para penonton yang
penasaran hanya bisa bertanya-tanya ‘ada apa?’ atau naik ke atas bangku dan
berusaha melihat apa yang terjadi. Walaupun suaraku pasti terdengar jelas oleh
mereka. Allura menghela nafas panjang, tatapannya berpindah ke kanan dan ke
kiri tapi tangannya tetap tidak lepas dari jemariku.
“Terima
Lur…! Avery jelas sayang sama lo udah lama… dia enggak mungkin nyakitin lo
kayak Ferdi!” seru Inggar.
“Terima
Lur! Avery itu udah lama sayang sama lo, Lur!” sahut Dewa. Allura menunduk dan
mengangkat kepalanya lalu menunduk dan mengangkat lagi kepalanya.
“Aku
harus jawab sekarang??” tanyanya kemudian. Aku mengangguk.
“Harus.”
Allura mengangguk pelan. “APAAN JAWABANNYA??” seru Avery.
“Iya
aku juga sayang sama kamu.” ucap Allura. Aku tersenyum senang.
“Aku
sayang sama kamu, kamu sayang sama aku. Terus…?? Kamu mau enggak jadi pacar
aku??” tanyaku lagi.
“Iya….”
jawab Allura. Sorak-sorai teman-teman timku dan beberapa penonton mulai
terdengar. Senyumku mengembang dan tanpa sadar aku memeluk Allura erat, lupa
akan rasa sakit di lututku itu.
“Maafin
aku gara-gara waktu itu cerita tentang Ferdi terus ke kamu ya, Ver!” bisik
Allura di telingaku. Aku tersenyum pendek.
“Aku
maafin, sayang!” tanggapku sambil merangkul Allura yang memasang tampang aneh
ketika mendengar ucapanku.
Karena setiap hal pasti kembali seperti bagaimana mestinyaJ
***
Waaa.... Ini cerbung dikerjainnya lama gara-gara angot-angotaaannn dan jadinya juga cuma 'so so' maaf yoo kalo enggak seru-seru amat. Lagi dicoba biar lebih baik lagiii... makasii udah dibaca :)
Komentar
Posting Komentar