Sejak
Allura jadian sama Ferdi, hampir seluruh anak laki-laki sekolah ini bertanya
padaku ‘kenapa lo bolehin Veerr??’ atau ‘mendingan Allura sama gue aja…!’ dan
ungkapan-ungkapan sejenisnya. Sedangkan anak perempuan? Mereka mengucapkan
kalimat menjijikan seperti ‘Ver, Allura kan udah jadian sama Ferdi, lo sama gue
aja… ya?’ Hih, siapa yang enggak jijik denger kalimat itu dari cewek??! Belom
kenal juga langsung ilfeel yang ada.
Aku jadi makin penasaran sama Ferdi, sebenernya dia itu orang yang kayak apa
sih?
“Ver!”
Aku menoleh. Allura berlari kecil menghampiriku di koridor sekolah, tapi kali
ini ia tidak bersama Ferdi. Aku menghentikan langkahku. Yah, walaupun aku
kecewa sama cewek satu ini gara-gara dia nerima Ferdi… tapi aku bukan tipe
cowok yang dengan tega meninggalkan seorang perempuan mengejarku.
“Hei
Lur.” balasku ketika Allura sudah berhasil menyejajarkan posisinya denganku.
Melihat kejadian itu, anak perempuan yang berada di koridor mulai was-wes-wos
dan memandang Allura sinis.
“Enggak
tahu diri apa enggak punya malu? Udah punya cowok masih aja ngedeketin yang
laen.” sindir salah satu anak perempuan yang bahkan aku tidak mengenalnya. Aku
menepuk pundak Allura.
“Kalo
dia udah punya cowok terus dia enggak boleh deket sama sahabatnya? Oh, cetek
banget pemikiran lo!” bentakku. Allura memasang ekspresi yang berbeda dari
biasanya, ini kali pertama aku marah di depan Allura. “Yuk Lur!” sambungku
sambil melanjutkan perjalanan.
“Ver,
serius… lo serem.” Aku hanya tersenyum simpul.
“Ferdi
kemana? Tumben enggak bareng?” tanyaku. Allura menghela nafas panjang.
“Berantem?” sambungku.
“Iya.
Nanti ada acara enggak Ver? Jalan yuk!” ajak Allura. Aku terdiam dan memikirkan
‘iya’ atau ‘tidak’.
“Yah…-”
“Kenapa
enggak bisa ya?? Yaudah deh….” Aku memikirkan kata-kata Aji kemarin. ‘Yah… pokoknya,
lo tetep kayak biasa aja ya sama Allura. Jangan jauhin dia, dengerin kalo dia
mau cerita. Gue yakin sih bakalan baik-baik aja.’
“Enggak
kok Lur enggak. Mau kemana??”
“Ada
deh. Hari ini pulang jam setengah dua kan? Jemput aku jam tiga ya Ver!” Aku
mengangguk lemah.
‘Itu
mah keringet pulang sekolah juga belom kering… demi kamu, Lur….’ ucapku dalam
hati.
***
Aku
menelan ludah begitu melihat Allura keluar dari kamarnya mengenakan dress selutut yang membuatnya terlihat
semakin anggun.
“Itu
dia Allura.” ucap tante Riri – mamanya Allura – sambil menunjuk anaknya.
“Kalian mau kemana sih??”
“Mau
jalan-jalan ma, boleh kan??” jawab Allura. Mamanya mengangguk.
“Boleh.
Ver, jagain Allura ya. Jangan pulang malem!” pinta tante Riri sambil menepuk pundakku.
Aku mengangguk mantap.
“Siap
tante! Tante, kita berangkat dulu ya. Assalamualaikum!”
Sepanjang
perjalanan aku hanya diam, tidak berbicara sepatah kata pun dan memacu motorku
dengan kecepatan yang berhasil membuat Allura memukul punggungku. Aku
membiarkannya dan terus memacu motorku, menyalip mobil dan truk yang ada di
depan.
“Ver,
gila lo! Pelan-pelan sih, gue takut!” jerit Allura sambil melingkarkan
tangannya di pinggangku. Aku memperlambat laju motorku.
“Oke,
jadi… kita kemana?” tanyaku.
***
“Yakin
disini?” tanyaku begitu sampai di sebuah mall yang ‘menaruh’ parkir motornya di
basement. Dari kaca spion, aku melihat Allura mengangguk mantap. Aku dan Allura
sudah pernah kesini beberapa tahun yang lalu dan Allura selalu berteriak setiap
kali motorku melaju di turunan basement yang
cukup curam.
Saat
motor mulai berjalan menuju basement dan melalui turunan curam itu, Allura
menahan jeritannya dengan meremas jaketku.
“Ver,
pelan-pelaaann…!” serunya kemudian.
“Lur,
ini udah pelan kali. Jangan teriak-teriak, nanti gue keilangan keseimbangan…
jatoh lo.” Allura menenggelamkan wajahnya di punggungku, tangannya mencengkram
erat jaket jins ku… aku harap tidak ada Ferdi disini. Hem, kalo ada Ferdi…
salah paham aja udah.
“Lur
udah nyampe, turun… betah banget lo megangin jaket gue.” ucapku sambil menepuk
tangan Allura yang masih menenggelamkan wajahnya. “Lur, ayolah…! Panas disini…
aku turun, kamu jatoh nanti.” sambungku. Allura turun dan wajahnya masih
terlihat takut.
“Yuk!”
ajakku sambil berjalan dua langkah di depan Allura.
***
Seorang
waiter membawakan pesanan kami setelah kurang lebih sepuluh menit terjadi
keheningan antara aku dan Allura. Aku menyantap banana split ku sambil menunggu Allura berbicara duluan. Tapi,
momen itu tak kunjung tiba, ia hanya mengaduk-aduk oreo ice cream-nya sampai bentuknya tidak karuan.
“Lur…
dimakan, bukan dimaenin.” sahutku tanpa melihat ke arahnya. Allura menghela
nafas dan berhenti mengaduk es krimnya. “Kenapa sih? Mau cerita??” sambungku.
“Ver…
aku… enggak jadi deh….” Aku menatap Allura heran. Jarang-jarang cewek yang ku
kenal cheerful jadi suram kayak gini.
“Ya
udah kalo enggak mau cerita, sungguhan deh aku enggak bisa liat kamu kayak gini
Lur, rasanya mau gue peluk aja.” ucapku pelan. Allura menatapku dengan mata
yang membulat.
“Apaan
Ver??” Aku menyendok es krim Allura dan memakannya. “Ver… itu kan es krim
kesukaanku….” sambungnya lemas. Biasanya, dia akan segera mengambil es krim strawberry dari mangkuk es krimku, tapi
sekarang… entahlah.
“Ver…
Ferdi itu enggak sepenuhnya baik ya…,” ucap Allura memulai ceritanya. Aku
menghentikan suapanku dan mendengarkan cerita Allura. “Aku kira dia baik,
tahunya… busuk.” lanjutnya.
“Ferdi
ngapain lo Lur??” tanyaku. Allura menghela nafas.
“Enggak
tau deh, makin kesini dia makin over. Main
sama cowok ga boleh dan kamu harus tahu Ver, tempo hari aku liat dia berduaan
sama Abel di bangku taman komplek. Gapapa deh kalo cuma duduk doang, Ferdi itu
ngerangkul Abel Ver… lo tau gak gimana rasanya?? Sakit banget Ver….” jelas
Allura, dari matanya jelas terlihat kalau dia sedang menahan air matanya. Aku
meremas sendok es krim yang ada di tanganku.
“Lalu?
Kamu udah putus sama dia??” tanyaku berusaha santai. Allura menggeleng.
“Belum.
Mungkin besok…. Aku enggak nyangka aja gitu, Ferdi yang aku kira baik ternyata
malah… aaaaaahhhh… jadi gimana Veerrr…?!”
“Apanya
yang gimana? Tapi kalo lo putus sama Ferdi, lo bakal dapet tatapan sinis lagi
setiap lo jalan di sebelah gue Lur….”
“Apapun
deh Ver. Gue mendingan disinisin daripada ujungnya kayak gini… tau gitu gue
mendingan gak usah nerima dia waktu itu….” Setitik air mata Allura jatuh
membasahi pipinya, aku ingin mengelapnya, tapi… aku ini siapanya dia?
“Gak
ada yang harus diseselin Lur, kalo lo gak jadian sama Ferdi lo gak bakal tau
kayak apa Ferdi, gue juga gak bakal tau kayak apa si Ferdi yang gue kira baik
itu. Lo yang sabar ya….” ucapku sambil mengacak rambutnya. Allura enggak pernah
sekacau ini sebelumnya. Emang dasar kampret si Ferdi!
“Ver…
gue boleh minjem pundak lo?” Aku tersenyum pendek.
“Boleh,
tapi jangan sampe baju gue basah sama ingus ya.” jawabku sambil menyandarkan
kepala Allura di pundakku. Tangisnya meledak, tangisan tanpa suara itu
terdengar sangat menyedihkan.
***
Kurang
lebih lima menit berlalu dan Allura baru mengangkat wajahnya dari pundakku.
Sebenarnya aku merasa ini bukan tempat yang pantas buat curhat, aku seakan
seperti penjahat yang membuat seorang remaja perempuan menangis. Air mata
Allura sukses membuat kausku basah. Aku menghela nafas berkali-kali, menunggu
Allura membuka suaranya atau setidaknya menghabiskan es krimnya yang sudah
cair.
“Ver,
makasih ya.” ucapnya dengan suara parau. Aku mengangguk kecil.
“Iya.
Sama-sama Lur… that’s what friends are
for.” tanggapku. Allura tersenyum pendek dan singkat. Sangat singkat.
“Udah
yuk Ver! Udah hampir jam lima, takut keburu maghrib.” Aku mengangguk dan
bangkit dari tempat dudukku.
“Yuk!
Kamu tunggu disini dulu aja, biar aku yang bayar.” ucapku sambil berlalu ke
kasir, masalahnya… kalau aku berlama-lama bersama Allura dalam urusan
bayar-membayar, bisa repot! Allura itu paling anti dibayarin terus.
***
Keesokan
harinya, sepulang sekolah.
“Inggar!”
seruku sambil berlari kecil mengejar Inggar.
“Apaan
Ver??” balasnya.
“Temenin
gue ke ‘markas’ yuk!” Inggar mengangkat alisnya seolah bertanya ‘ngapain?’
padaku. “Catetan Fisika gue ada di loker ruangan basket.” sambungku setelah
melihat alis Inggar naik dua senti.
“Ayo deh.”
Ruangan
ini sepi, anak-anak basket emang rada males kalo siang-siang ke ruangan ini.
Lagian siapa juga yang mau maen basket waktu matahari lagi terik-teriknya? Kalo
aku sih, apalagi kalo outdoor… jelas enggak mau.
“Gar,
dimana ya??” tanyaku sambil mengeluarkan semua barang-barang yang ada di loker.
Inggar tidak menjawab. “Gaarr…!” seruku. Inggar tetap diam, tak bersuara.
“Yaelah Gar, lo kalo gak ikhlas nemenin kesini yaudah Gar, gapapa kok. Lo
pulang duluan aja, jahat lo sama gu…-”
“Berisik
lo! Dengerin deh, ada ribut-ribut tuh di lapangan basket!” Aku memasang
telingaku.
“Gar,
itu Allura!” seruku sambil berlari kecil keluar ruangan ekskul. Aku melihat
dari kejauhan, apa yang dilakukan Allura disana dan siapa yang berteriak
kepadanya.
“Demi
tuhan Ver, itu Lura sama si Ferdi! Mending lo samper deh!” sahut Inggar.
Sebelum Inggar menyudahi ucapannya, aku sudah berlari ke lapangan basket.
“Tampar
aja Fer, tampar!!” seru Allura ketika Ferdi hendak menampar Allura. Aku menahan
tangan Ferdi dan ‘membuangnya’.
“Lo…
gaada hak buat nyakitin Allura, Fer!” seruku. Emosiku memuncak ketika Ferdi
berfikir menampar cewek. CEWEK.
“LO
GAK USAH IKUT CAMPUR! INI BUKAN URUSAN LO!” balas Ferdi.
“Apa
yang jadi urusan Allura itu urusan gue. Pikiran lo cetek banget, beraninya
nampar cewek. Gara-gara apa sih?? Hah?!”
“Dia
mutusin gue. Dia juga nuduh gue maen belakang sama Abel. Gimana gak kesel
gue??” jelas Ferdi, suaranya melunak.
“Dia
mutusin lo karena dia ngeliat lo rangkul-rangkulan sama Abel. Gak usah ngelak.
Gue kira lo bisa ya jagain Allura lebih baik dari gue. Ternyata lo BUSUK banget
ya Fer. Makasih udah ngingetin gue buat ati-ati milih orang buat jagain sahabat
gue.” Mulutku tak terkontrol, semua kata-kata itu keluar begitu saja.
“Fer,
thanks for everything. Kita putus ya…
kan lo masih ada Abel.” sahut Allura yang masih memegang erat kemeja putihku.
“Bro,
gue duluan.” ucapku pada Ferdi sambil merangkul Allura keluar dari lapangan
basket, ke tempat dimana Inggar – yang sejak tadi melihat kejadian itu dengan
wajah ‘cengo’ – berada.
***
Di
tempat parkir.
“Gar,
balik yuk!” ajakku. Inggar tersenyum simpul pada Allura.
“Lo
anterin Lura aja dulu deh Ver, tadi Aji nelpon, ngajak gue konfirmasi tim buat
ikut lomba.” jawab Inggar.
“Oh…
oke deh. Maap ya gue gak bisa ikut kalian.” Inggar mengacungkan kedua ibu
jarinya. “Doi gak pernah sekacau ini sebelumnya. Makasih udah ngingetin buat
ati-ati sama Ferdi.” bisikku di telinga Inggar.
“Siiaapp…!
Take care Ver!”
Setelah
memakai helm, aku menyalakan mesin motorku dan menyuruh Allura naik. Inggar
yang berdiri di sebelahku membisikkan hal yang membuatku senyam-senyum sendiri.
“Ver,
kayaknya doi nyaman banget tuh tadi dirangkul sama lo.” bisiknya dengan suara
super pelan. Aku tersenyum penuh arti dan tertawa pelan.
“Siplah…
gue balik duluan.” jawabku sambil memacu motorku.
“Apa
kata Inggar?” tanya Allura.
“Katanya?
Kamu-jangan-KEPO!” jawabku sambil menambah kecepatan motorku.
***
Komentar
Posting Komentar