Langsung ke konten utama

Untitled (3/4)


Sejak Allura jadian sama Ferdi, hampir seluruh anak laki-laki sekolah ini bertanya padaku ‘kenapa lo bolehin Veerr??’ atau ‘mendingan Allura sama gue aja…!’ dan ungkapan-ungkapan sejenisnya. Sedangkan anak perempuan? Mereka mengucapkan kalimat menjijikan seperti ‘Ver, Allura kan udah jadian sama Ferdi, lo sama gue aja… ya?’ Hih, siapa yang enggak jijik denger kalimat itu dari cewek??! Belom kenal juga langsung ilfeel yang ada. Aku jadi makin penasaran sama Ferdi, sebenernya dia itu orang yang kayak apa sih?

“Ver!” Aku menoleh. Allura berlari kecil menghampiriku di koridor sekolah, tapi kali ini ia tidak bersama Ferdi. Aku menghentikan langkahku. Yah, walaupun aku kecewa sama cewek satu ini gara-gara dia nerima Ferdi… tapi aku bukan tipe cowok yang dengan tega meninggalkan seorang perempuan mengejarku.

“Hei Lur.” balasku ketika Allura sudah berhasil menyejajarkan posisinya denganku. Melihat kejadian itu, anak perempuan yang berada di koridor mulai was-wes-wos dan memandang Allura sinis.

“Enggak tahu diri apa enggak punya malu? Udah punya cowok masih aja ngedeketin yang laen.” sindir salah satu anak perempuan yang bahkan aku tidak mengenalnya. Aku menepuk pundak Allura.

“Kalo dia udah punya cowok terus dia enggak boleh deket sama sahabatnya? Oh, cetek banget pemikiran lo!” bentakku. Allura memasang ekspresi yang berbeda dari biasanya, ini kali pertama aku marah di depan Allura. “Yuk Lur!” sambungku sambil melanjutkan perjalanan.

“Ver, serius… lo serem.” Aku hanya tersenyum simpul.

“Ferdi kemana? Tumben enggak bareng?” tanyaku. Allura menghela nafas panjang. “Berantem?” sambungku.

“Iya. Nanti ada acara enggak Ver? Jalan yuk!” ajak Allura. Aku terdiam dan memikirkan ‘iya’ atau ‘tidak’.

“Yah…-”

“Kenapa enggak bisa ya?? Yaudah deh….” Aku memikirkan kata-kata Aji kemarin. ‘Yah… pokoknya, lo tetep kayak biasa aja ya sama Allura. Jangan jauhin dia, dengerin kalo dia mau cerita. Gue yakin sih bakalan baik-baik aja.’

“Enggak kok Lur enggak. Mau kemana??”

“Ada deh. Hari ini pulang jam setengah dua kan? Jemput aku jam tiga ya Ver!” Aku mengangguk lemah.

‘Itu mah keringet pulang sekolah juga belom kering… demi kamu, Lur….’ ucapku dalam hati.

***
Aku menelan ludah begitu melihat Allura keluar dari kamarnya mengenakan dress selutut yang membuatnya terlihat semakin anggun.

“Itu dia Allura.” ucap tante Riri – mamanya Allura – sambil menunjuk anaknya. “Kalian mau kemana sih??”

“Mau jalan-jalan ma, boleh kan??” jawab Allura. Mamanya mengangguk.

“Boleh. Ver, jagain Allura ya. Jangan pulang malem!” pinta tante Riri sambil menepuk pundakku. Aku mengangguk mantap.

“Siap tante! Tante, kita berangkat dulu ya. Assalamualaikum!”
Sepanjang perjalanan aku hanya diam, tidak berbicara sepatah kata pun dan memacu motorku dengan kecepatan yang berhasil membuat Allura memukul punggungku. Aku membiarkannya dan terus memacu motorku, menyalip mobil dan truk yang ada di depan.

“Ver, gila lo! Pelan-pelan sih, gue takut!” jerit Allura sambil melingkarkan tangannya di pinggangku. Aku memperlambat laju motorku.

“Oke, jadi… kita kemana?” tanyaku.

***
“Yakin disini?” tanyaku begitu sampai di sebuah mall yang ‘menaruh’ parkir motornya di basement. Dari kaca spion, aku melihat Allura mengangguk mantap. Aku dan Allura sudah pernah kesini beberapa tahun yang lalu dan Allura selalu berteriak setiap kali motorku melaju di turunan basement yang cukup curam.

Saat motor mulai berjalan menuju basement dan melalui turunan curam itu, Allura menahan jeritannya dengan meremas jaketku.

“Ver, pelan-pelaaann…!” serunya kemudian.

“Lur, ini udah pelan kali. Jangan teriak-teriak, nanti gue keilangan keseimbangan… jatoh lo.” Allura menenggelamkan wajahnya di punggungku, tangannya mencengkram erat jaket jins ku… aku harap tidak ada Ferdi disini. Hem, kalo ada Ferdi… salah paham aja udah.

“Lur udah nyampe, turun… betah banget lo megangin jaket gue.” ucapku sambil menepuk tangan Allura yang masih menenggelamkan wajahnya. “Lur, ayolah…! Panas disini… aku turun, kamu jatoh nanti.” sambungku. Allura turun dan wajahnya masih terlihat takut.

“Yuk!” ajakku sambil berjalan dua langkah di depan Allura.

***
Seorang waiter membawakan pesanan kami setelah kurang lebih sepuluh menit terjadi keheningan antara aku dan Allura. Aku menyantap banana split ku sambil menunggu Allura berbicara duluan. Tapi, momen itu tak kunjung tiba, ia hanya mengaduk-aduk oreo ice cream-nya sampai bentuknya tidak karuan.

“Lur… dimakan, bukan dimaenin.” sahutku tanpa melihat ke arahnya. Allura menghela nafas dan berhenti mengaduk es krimnya. “Kenapa sih? Mau cerita??” sambungku.

“Ver… aku… enggak jadi deh….” Aku menatap Allura heran. Jarang-jarang cewek yang ku kenal cheerful jadi suram kayak gini.

“Ya udah kalo enggak mau cerita, sungguhan deh aku enggak bisa liat kamu kayak gini Lur, rasanya mau gue peluk aja.” ucapku pelan. Allura menatapku dengan mata yang membulat.

“Apaan Ver??” Aku menyendok es krim Allura dan memakannya. “Ver… itu kan es krim kesukaanku….” sambungnya lemas. Biasanya, dia akan segera mengambil es krim strawberry dari mangkuk es krimku, tapi sekarang… entahlah.

“Ver… Ferdi itu enggak sepenuhnya baik ya…,” ucap Allura memulai ceritanya. Aku menghentikan suapanku dan mendengarkan cerita Allura. “Aku kira dia baik, tahunya… busuk.” lanjutnya.

“Ferdi ngapain lo Lur??” tanyaku. Allura menghela nafas.

“Enggak tau deh, makin kesini dia makin over. Main sama cowok ga boleh dan kamu harus tahu Ver, tempo hari aku liat dia berduaan sama Abel di bangku taman komplek. Gapapa deh kalo cuma duduk doang, Ferdi itu ngerangkul Abel Ver… lo tau gak gimana rasanya?? Sakit banget Ver….” jelas Allura, dari matanya jelas terlihat kalau dia sedang menahan air matanya. Aku meremas sendok es krim yang ada di tanganku.

“Lalu? Kamu udah putus sama dia??” tanyaku berusaha santai. Allura menggeleng.

“Belum. Mungkin besok…. Aku enggak nyangka aja gitu, Ferdi yang aku kira baik ternyata malah… aaaaaahhhh… jadi gimana Veerrr…?!”

“Apanya yang gimana? Tapi kalo lo putus sama Ferdi, lo bakal dapet tatapan sinis lagi setiap lo jalan di sebelah gue Lur….”

“Apapun deh Ver. Gue mendingan disinisin daripada ujungnya kayak gini… tau gitu gue mendingan gak usah nerima dia waktu itu….” Setitik air mata Allura jatuh membasahi pipinya, aku ingin mengelapnya, tapi… aku ini siapanya dia?

“Gak ada yang harus diseselin Lur, kalo lo gak jadian sama Ferdi lo gak bakal tau kayak apa Ferdi, gue juga gak bakal tau kayak apa si Ferdi yang gue kira baik itu. Lo yang sabar ya….” ucapku sambil mengacak rambutnya. Allura enggak pernah sekacau ini sebelumnya. Emang dasar kampret si Ferdi!

“Ver… gue boleh minjem pundak lo?” Aku tersenyum pendek.

“Boleh, tapi jangan sampe baju gue basah sama ingus ya.” jawabku sambil menyandarkan kepala Allura di pundakku. Tangisnya meledak, tangisan tanpa suara itu terdengar sangat menyedihkan. 

***
Kurang lebih lima menit berlalu dan Allura baru mengangkat wajahnya dari pundakku. Sebenarnya aku merasa ini bukan tempat yang pantas buat curhat, aku seakan seperti penjahat yang membuat seorang remaja perempuan menangis. Air mata Allura sukses membuat kausku basah. Aku menghela nafas berkali-kali, menunggu Allura membuka suaranya atau setidaknya menghabiskan es krimnya yang sudah cair.

“Ver, makasih ya.” ucapnya dengan suara parau. Aku mengangguk kecil.

“Iya. Sama-sama Lur… that’s what friends are for.” tanggapku. Allura tersenyum pendek dan singkat. Sangat singkat.

“Udah yuk Ver! Udah hampir jam lima, takut keburu maghrib.” Aku mengangguk dan bangkit dari tempat dudukku.

“Yuk! Kamu tunggu disini dulu aja, biar aku yang bayar.” ucapku sambil berlalu ke kasir, masalahnya… kalau aku berlama-lama bersama Allura dalam urusan bayar-membayar, bisa repot! Allura itu paling anti dibayarin terus.

***
Keesokan harinya, sepulang sekolah.
“Inggar!” seruku sambil berlari kecil mengejar Inggar.

“Apaan Ver??” balasnya.

“Temenin gue ke ‘markas’ yuk!” Inggar mengangkat alisnya seolah bertanya ‘ngapain?’ padaku. “Catetan Fisika gue ada di loker ruangan basket.” sambungku setelah melihat alis Inggar naik dua senti.

 “Ayo deh.”

Ruangan ini sepi, anak-anak basket emang rada males kalo siang-siang ke ruangan ini. Lagian siapa juga yang mau maen basket waktu matahari lagi terik-teriknya? Kalo aku sih, apalagi kalo outdoor… jelas enggak mau.

“Gar, dimana ya??” tanyaku sambil mengeluarkan semua barang-barang yang ada di loker. Inggar tidak menjawab. “Gaarr…!” seruku. Inggar tetap diam, tak bersuara. “Yaelah Gar, lo kalo gak ikhlas nemenin kesini yaudah Gar, gapapa kok. Lo pulang duluan aja, jahat lo sama gu…-”

“Berisik lo! Dengerin deh, ada ribut-ribut tuh di lapangan basket!” Aku memasang telingaku.

“Gar, itu Allura!” seruku sambil berlari kecil keluar ruangan ekskul. Aku melihat dari kejauhan, apa yang dilakukan Allura disana dan siapa yang berteriak kepadanya.

“Demi tuhan Ver, itu Lura sama si Ferdi! Mending lo samper deh!” sahut Inggar. Sebelum Inggar menyudahi ucapannya, aku sudah berlari ke lapangan basket.

“Tampar aja Fer, tampar!!” seru Allura ketika Ferdi hendak menampar Allura. Aku menahan tangan Ferdi dan ‘membuangnya’.

“Lo… gaada hak buat nyakitin Allura, Fer!” seruku. Emosiku memuncak ketika Ferdi berfikir menampar cewek. CEWEK.

“LO GAK USAH IKUT CAMPUR! INI BUKAN URUSAN LO!” balas Ferdi.

“Apa yang jadi urusan Allura itu urusan gue. Pikiran lo cetek banget, beraninya nampar cewek. Gara-gara apa sih?? Hah?!”

“Dia mutusin gue. Dia juga nuduh gue maen belakang sama Abel. Gimana gak kesel gue??” jelas Ferdi, suaranya melunak.

“Dia mutusin lo karena dia ngeliat lo rangkul-rangkulan sama Abel. Gak usah ngelak. Gue kira lo bisa ya jagain Allura lebih baik dari gue. Ternyata lo BUSUK banget ya Fer. Makasih udah ngingetin gue buat ati-ati milih orang buat jagain sahabat gue.” Mulutku tak terkontrol, semua kata-kata itu keluar begitu saja.

“Fer, thanks for everything. Kita putus ya… kan lo masih ada Abel.” sahut Allura yang masih memegang erat kemeja putihku.

“Bro, gue duluan.” ucapku pada Ferdi sambil merangkul Allura keluar dari lapangan basket, ke tempat dimana Inggar – yang sejak tadi melihat kejadian itu dengan wajah ‘cengo’ – berada.

***
Di tempat parkir.
“Gar, balik yuk!” ajakku. Inggar tersenyum simpul pada Allura.

“Lo anterin Lura aja dulu deh Ver, tadi Aji nelpon, ngajak gue konfirmasi tim buat ikut lomba.” jawab Inggar.

“Oh… oke deh. Maap ya gue gak bisa ikut kalian.” Inggar mengacungkan kedua ibu jarinya. “Doi gak pernah sekacau ini sebelumnya. Makasih udah ngingetin buat ati-ati sama Ferdi.” bisikku di telinga Inggar.   

“Siiaapp…! Take care Ver!”

Setelah memakai helm, aku menyalakan mesin motorku dan menyuruh Allura naik. Inggar yang berdiri di sebelahku membisikkan hal yang membuatku senyam-senyum sendiri.

“Ver, kayaknya doi nyaman banget tuh tadi dirangkul sama lo.” bisiknya dengan suara super pelan. Aku tersenyum penuh arti dan tertawa pelan.

“Siplah… gue balik duluan.” jawabku sambil memacu motorku.

“Apa kata Inggar?” tanya Allura.

“Katanya? Kamu-jangan-KEPO!” jawabku sambil menambah kecepatan motorku. 

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Thoughts on Birthday

Birthday should be one of the special day in a year. Not because of the present you will get, but for me, it's because of the prayer. Birthday is beautiful because of the people who celebrate your birthday come with all those good wishes. Have a long life, be happy, have a joyful birthday. Simple words, but i love it the most. Some people also add on extra beautiful words. Thank you for being born. Thank you for holdin on til now. Or even thank you for being my friend. Thank you for spending your life with me. I can't hold back my tears when i read all those words in my birthday greeting chats or letters. I'm so thankful. Receiving presents and foods on my birthday is indeed make me happy. But, a simple "happy birthday" is really enough. I'm so thankful even with that simple phrase. Birthday is not about gettin all those presents. It's also not about partying all night long in a 5 star hotel. It's about sincere prayer your families, your friends, or ev...

Little Star, You Shine! - Kau Berkilau. Tinggi, Tapi Sendirian...

Tadinya, udah berniat post "Dec." itu sebagai post terakhir di tahun ini, tapi, ternyata... seorang Fiona baru mendapat kado akhir tahun yang sangat indah tepat di tanggal 26 Desember kemarin.  Alhamdulillah. Speechless.  Buku kedua yang judulnya 'Little Star, You Shine!' terbit lebih cepat dari yang dijadwalkan. Waktu itu sempet nanya sama Kak Andika, katanya paling cepet terbit itu awal tahun 2015, makanya sama sekali enggak kepikiran bakal dapet paket bukti terbit di bulan ini.  Tapi... tapi...  Buku kedua ini cantik luar biasaaa :D  Sukaaaaa sekali sama covernyaaaaa :3 Langsung aja yaaa...  Ini iniiii.... YAP! Itu diaaaaaaa :')  Sinopsis ya biar makin banyak yang niat beli dan beli bukunyaaaa~~  Nih  Menjadi diriku enggak gampang. Jangan sekali-kali kamu hanya melihat gemerlap dunia entertainment yang kugeluti saja. Jangan pula kamu berpikir bahwa semua tampak lebih mudah jika menjadi seleb...

Titipan dari 2008

Tema hari ini adalah: Poem, article, story, or anything from the old time. Kalo aneh-aneh gini ini idenya si Kriwilan Rengginang yang hobi mempermalukan diri sendiri apalagi orang lain. Karena di laptop gue enggak ada sesuatu yang pernah gue buat beberapa tahun lalu, gue akhirnya nyari-nyari harta karun di tiap laci yang gue punya. Di salah satu laci, gue nemu buku harian gitu yang isinya catetan khas anak SD, dan mengejutkannya, di belakang-belakang ada beberapa cerpen yang gue tulis tahun 2008! Can you be as productive as you were in 2008, Fiona? Gue enggak akan nulis semua cerita itu di sini. Gue pilih yang terpendek biar enggak pegel ngetiknya, karena gue ngantuk dan memaksakan harus dipos hari ini demi enggak molor-molor lagi ngeposnya. Ini ceritanya: Kisah Sebungkus Permen Beberapa bulan berlalu, aku belum juga laku, ujar Sugu kepada temannya. Ya jelas saja karena kamu permen yang murah, jadi anak kecil tidak tertarik ha... ha... ha... jawab temannya yang b...